Sumber: jatengku.com |
LBHI banyak dipuji sebagai lembaga
yang memiliki kepedulian dan kemauan tinggi dalam memajukan hak asasi manusia
di Indonesia. LBHI tidak secara langsung mengklaim atau menamakan diri sebagai
lembaga pembela hak asasi manusia. Namun, secara konkret lembaga ini melakukan
berbagai tindakan pembelaan dan perlindungan hukum kepada warga masyarakat yang
mengalami masalah hak asasi, terutama saat mereka menjadi korban perlakuan
sewenang-wenang dari pihak yang kuat dan berkuasa.
Cukup menakjubkan,
perjuangan LBHI untuk membela kaum lemah dan tertindas dilakukan saat
pemerintahan Orde Baru sedang berkuasa dengan tangan besinya. Akibat sikapnya
ini, para aktivis LBHI tak jarang mendapat intimidasi, teror, dan ancaman dari
aparat pemerintah. Namun, di tengah sikap otoriter pemerintah Orde Baru, LBHI
tetap menjalankan tugas pembelaan dan perlindungan hak asasinya dengan
konsisten.
LBHI dinilai memiliki
tekad dan keberanian yang besar dalam memperjuangkan nasib orang-orang yang
lemah dan tertindas. LBHI juga dianggap berjuang tanpa pamrih karena dalam
membela hak-hak masyarakat kalangan bawah yang miskin, mereka bekerja tanpa
memungut bayaran. Pada masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter, LBHI terkenal
bersikap kritis dan vokal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat
mengekang hak-hak asasi masyarakat.
Bersama LPHAM
pimpinan H.J.C. Princen, LBHI adalah lembaga yang mempelopori gerakan pembelaan
hak asasi manusia di Indonesia. Jauh sebelum lembaga-lembaga hak asasi manusia
lain berdiri, LPHAM dan LBHI sudah lahir dan melakukan upaya perbaikan dan
pemajuan hak asasi masyarakat Indonesia. LBHI memulai upaya perbaikan kondisi
hak asasi manusia dengan memberikan pembelaan hukum kepada kalangan masyarakat
yang lemah saat terlibat atau berurusan dalam masalah hukum.
LBHI didirikan pada
tanggal 28 Oktober 1970 melalui surat keputusan Dewan Pimpinan Pusat Persatuan
Advokat Indonesia (Peradin) No. 001/Kep/10/1970. Pada saat berdiri, organisasi
ini diberi nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Lembaga Pembela Umum (LPU).
Pada tahun 1980 status hukumnya ditingkatkan menjadi yayasan sehingga namanya
diubah menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Organisasi yang
pernah dipimpin praktisi dan pakar hukum terkenal Adnan Buyung Nasution ini
dalam keseharian populer dengan sebutan LBHI atau LBH. LBHI memiliki 15 kantor
cabang dan tujuh pos yang tersebar dari Aceh hingga Papua.
·
Prinsip dan Konsep LBHI
Pada awalnya, gagasan pendirian LBHI adalah untuk memberikan
bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya.
Sasarannya terutama ialah masyarakat miskin yang digusur, dipinggirkan, di-PHK,
dan mengalami pelanggaran hak asasi lainnya. Namun, perilaku rezim Orde Baru
yang otoriter lambat laun mendorong LBHI tidak hanya menjadi kekuatan pembela
hak asasi manusia, melainkan juga menjadi kekuatan dan gerakan prodemokrasi
yang vokal dan konfrontatif terhadap rezim penguasa.
Prinsip-prinsip penegakan
demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan yang dipegang LBHI membawanya pada
perlawanan terhadap ketidakadilan yang diciptakan pemerintah Orde Baru. Dengan
segala risikonya, LBHI memilih untuk berada pada gerakan kaum buruh, petani,
mahasiswa, kaum miskin kota, dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi.
LBHI kemudian mengembangkan konsep bantuan hukum struktural (BHS), yakni suatu
konsep yang didasarkan pada upaya-upaya untuk mendorong terwujudnya negara
hukum yang menjamin keadilan sosial.
·
Visi LBHI
Visi LBHI
sesungguhnya terletak pada upaya menciptakan masyarakat dan negara hukum yang
berkeadilan sosial. Bermula dari upaya pemberian bantuan hukum, gerakan yang
dilakukan LBHI juga diarahkan
untuk mendorong terwujudnya sistem atau tatanan yang menghormati hak asasi manusia.
Bersama dengan komponen masyarakat dan bangsa Indonesia yang lain, LBHI
melakukan upaya bagi terwujudnya hal-hal berikut:
· sistem
masyarakat hukum yang terbina di atas tatanan hubungan sosial yang adil dan
beradab/berperikemanusiaan secara demokratis;
· sistem
hukum dan administrasi yang mampu menyediakan tata cara (prosedur-prosedur) dan
lembaga-lembaga yang memungkinkan setiap pihak dapat memperoleh dan menikmati
keadilan hukum;
· sistem
ekonomi, politik, dan budaya yang membuka akses bagi setiap pihak untuk turut
menentukan setiap keputusan yang berkenaan dengan kepentingan mereka dan
memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Bang Buyung...kami kenang selalu perjuangan besarmu
ReplyDelete