Lembaga hak asasi manusia yang
reputasinya melambung tinggi sejak munculnya gerakan reformasi di Indonesia
tahun 1987/1998 tidak lain adalah Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan). Kepedulian, keberanian, keseriusan, dan popularitas Kontras
dalam melakukan pembelaan hak asasi manusia selama gerakan reformasi
berlangsung hampir tak ada yang menandingi. Dimotori oleh tokoh muda pejuang
hak asasi manusia, Munir Said Thalib, Kontras melakukan gebrakan yang tergolong
luar biasa. Di tengah rezim Orde Baru sedang ganas-ganasnya memberangus gerakan
prodemokrasi dan reformasi, Kontras dengan vokal dan konsisten melakukan
pembelaan hak asasi kepada para aktivis demokrasi.
Dalam situasi genting seperti itu,
keberanian dan kevokalan Kontras dalam melakukan pembelaan hak asasi manusia
jelas mengandung risiko sangat tinggi. Saat itu banyak aktivis demokrasi dan
reformasi mengalami penculikan, penganiayaan, dan penghilangan paksa oleh
aparat militer Orde Baru. Dengan risiko mengalami hal yang sama, para aktivis
Kontras justru melakukan advokasi dan pembelaan kepada para korban penculikan
dan penganiayaan.
Atas keberanian
dan kevokalannya melakukan advokasi dan pembelaan hak asasi manusia, Kontras
sendiri juga mengalami banyak intimidasi, teror, dan ancaman dari aparat pemerintah
Orde Baru. Namun, dengan segala risiko dan bahaya yang mengintainya, Kontras
tetap menjalankan ikhtiar mulianya dengan konsisten. Sikap Kontras ini kemudian
dibayar sangat mahal. Mantan Koordinator Kontras, Munir, meninggal dunia akibat
dibunuh dengan racun. Tragis dan ironisnya, pembunuhan ini terjadi enam tahun
setelah gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.
·
Latar Belakang Pendirian Kontras
Kontras didirikan pada tanggal 20 Maret 1998, saat gerakan
prodemokrasi dan reformasi tengah mekar-mekarnya untuk melawan kediktatoran dan
keotoriteran pemerintahan Orde Baru. Pembentukan Kontras dilatarbelakangi oleh
banyaknya pengaduan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Sebelum bernama
Kontras, lembaga ini memiliki nama KIP-HAM (Komisi Independen Pemantau Hak
Asasi Manusia). KIP-HAM dibentuk tahun 1996 untuk memantau persoalan hak asasi
manusia di Indonesia.
Sejak pembentukannya, KIP-HAM banyak menerima pengaduan dan
masukan mengenai banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dialami
masyarakat di berbagai daerah. Akibat sangat ketat dan represifnya rezim Orde
Baru dalam membatasi kebebasan masyarakat, pada awalnya pengaduan masyarakat
kepada KIP-HAM disampaikan melalui surat dan telepon. Akan tetapi,
lama-kelamaan sebagian masyarakat menjadi berani untuk menyampaikan pengaduan
langsung ke sekretariat KIP-HAM.
Dalam beberapa kali
pertemuan dengan para korban pelanggaran hak asasi, tercetus ide untuk
membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani kasus-kasus orang hilang sebagai
yang sering terjadi dan menelan banyak korban. Pada saat itu, Tuti Koto,
seorang ibu yang merasa sangat prihatin atas banyaknya kasus penculikan,
mengusulkan dibentuknya badan khusus tersebut. Akhirnya disepakati pembentukan
sebuah komisi yang khusus bertugas menangani kasus orang hilang dan korban
tindak kekerasan dengan nama Kontras.
·
Visi dan Misi Kontras
Namun, dalam kiprah selanjutnya, Kontras tidak hanya menangani
kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Kontras juga diminta oleh
para korban untuk menangani berbagai kekerasan yang terjadi di berbagai daerah
konflik, seperti Aceh, Papua, Timor Timur, Maluku, Sambas, Sampit, dan Poso.
Kontras kemudian berkembang menjadi organisasi independen yang aktif
berpartisipasi dalam membongkar praktik penyalahgunaan kekuasaan rezim Orde
Baru yang banyak menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Kontras mengukuhkan
visi dan misinya untuk turut memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Seluruh potensi dan energi Kontras diarahkan untuk mendorong berkembangnya
sistem kehidupan bernegara yang jauh dari pendekatan kekerasan. Pendekatan
kekerasan yang diupayakan hendak dilawan dan dihapuskan adalah yang lahir dari
prinsip-prinsip militerisme sebagai sebuah sistem, perilaku, maupun budaya
politik.
No comments:
Post a Comment