Thursday, March 29, 2018

Jenis-Jenis Kecerdasan

Gabriel Garcia Marquez, sastrawan dunia yang memiliki kecerdasan linguistik
(Sumber: Muladar News)
 

(Sumber: Sadah Siti Hajar, Embun, http://caraelok.blogspot.co.id/search/label/Pengembangan%
20Potensi, Jumat, 20 Januari 2017)

  Hasil penelitian-penelitian dan kajian-kajian ilmiah oleh para ilmuwan telah membongkar misteri dan mitos serta mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi di seputar kecerdasan. Pada masa lalu, terutama di kalangan masyarakat awam Indonesia, kecerdasan seringkali hanya dianggap sebagai kecakapan atau ketangkasan dalam memahami pelajaran (sekolah) atau informasi yang bersifat pengetahuan saja. Atau, paling banter, kecerdasan dipandang sebagai kemampuan dalam menangkap dan memahami hal-hal yang datang atau ada di hadapan seseorang. Dalam keadaan seperti ini, makin cepat seseorang mampu menangkap dan memahami hal-hal yang dihadapkan kepadanya, maka ia dianggap makin cerdas, dan demikian juga sebaliknya. Akan tetapi, anggapan-anggapan tersebut sekarang telah terkoreksi oleh serangkaian penemuan-penemuan baru tentang kecerdasan manusia.
Berbagai penemuan menunjukkan, kecerdasan manusia ternyata memiliki dimensi yang luas dan kompleks. Kecerdasan tidak semata-mata hanya terkait dengan ‘kemampuan otak’ dalam pengertian fisik sebagai bagian dari organ tubuh manusia, melainkan juga dengan organ-organ tubuh lain serta juga perasaan atau emosi.  Howard Gardner mengungkap rahasia di balik kecerdasan, bahwa manusia lebih rumit daripada apa yang dijelaskan melalui tes IQ atau tes apa pun. Ia mengatakan bahwa orang yang berbeda memiliki kecerdasan yang berbeda.
Oleh karena itu, saat ini kita mengenal berbagai jenis kecerdasan: kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan fisik, kecerdasan visual, dan sebagainya. Lebih lengkap dan terperinci berikut ini dipaparkan berbagai jenis kecerdasan yang (diyakini) dimiliki oleh manusia.
Manusia memiliki sembilan jenis kecerdasan. Kesembilan kecerdasan tersebut ialah kecerdasan logis-matematis, kecerdasan linguistik, kecerdasan kinestetik-jasmani (kecerdasan fisik), kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi (kecerdasan dalam diri sendiri), kecerdasan naturalis (lingkungan), dan kecerdasan eksistensial. Kecuali kecerdasan eksistensial, delapan kecerdasan lainnya merupakan temuan Howard Gardner, tokoh pendidikan dan psikologi yang mencetuskan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences).
·          Kecerdasan logis-matematis. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan dalam angka dan logika; kecerdasan yang biasanya dimiliki oleh para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram komputer. Fisikawan Isaac Newton dan Albert Einstein memanfaatkan kecerdasan ini saat mereka menghasilkan penemuan besarnya masing-masing (Newton dengan kalkulusnya dan Einstein dengan teori relativitasnya). Kecerdasan logis-matematis meliputi kecakapan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola sebab-akibat, menyusun hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau pola numerik, dan rasionalitas.
·          Kecerdasan linguistik. Kecerdasan ini adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Kecerdasan ini dimiliki para wartawan, sastrawan, penulis teks pidato, dan orator. Kecerdasan jenis ini menghasilkan karya besar dalam bidang sastra, seperti King Lear  (William Shakespeare), Doctor Zhivago (Boris Pasternak), Waiting for Godot (Samuel Beckett), dan One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez). Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu menulis, berargumentasi, meyakinkan orang, atau mengajar dengan efektif melalui rangkaian kalimat yang disampaikannya. Mereka kutu buku, dapat menulis dengan jelas dan lincah, serta mampu mengartikan bahasa tulisan secara luas.
·          Kecerdasan kinestetik-jasmani. Kecerdasan ini disebut kecerdasan fisik. Tercakup di dalamnya bakat mengendalikan gerak tubuh dan keterampilan dalam menangani benda. Atlet, penari, pengrajin, montir, dan ahli bedah memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani tingkat tinggi. Orang berkecerdasan fisik memiliki keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit model. Mereka menyukai kegiatan fisik, seperti berjalan kaki, menari, berlari, berkemah, berenang, atau arung jeram. Mereka cekatan, lincah, indra perabanya sangat peka, tak bisa diam, dan menaruh minat terhadap sangat banyak hal.
·          Kecerdasan spasial. Kecerdasan ini mencakup kemampuan berpikir dalam gambar serta kemampuan untuk memperhatikan (mencerap), mengubah, dan menciptakan kembali berbagai macam dunia visual-spasial. Kecerdasan spasial biasanya dimiliki oleh para arsitek, fotografer, pilot, dan insinyur mesin. Orang yang memiliki derajat kecerdasan spasial yang tinggi punya kepekaan yang kuat terhadap detail visual sehingga dapat menggambarkan sesuatu dengan sangat hidup, melukis atau membuat sketsa ide dengan jelas, serta mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi. Tokoh yang memiliki kecerdasan ini, antara lain, Basuki Abdullah, Dede Eri Supria, Thomas Alva Edison, Pablo Picasso, dan Rembrandt.
·          Kecerdasan musikal. Ciri utama kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk mencerap, menghargai, dan menciptakan irama dan melodi. Musisi seperti Mozart, Bach, Beethoven, Chopin, Jimi Hendrix, Bob Marley, dan pemain gamelan Bali memiliki kecerdasan musikal. Kecerdasan musikal juga dimiliki orang yang sensitif akan nada, mampu menyanyikan lagu dengan memukau, dan mampu mengikuti irama musik.
·          Kecerdasan antarpribadi. Kecerdasan ini adalah kecerdasan untuk memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain. Kecerdasan antarpribadi terutama menuntut kemampuan untuk mencerap dan tanggap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan kemauan orang lain. Mereka yang memiliki kecerdasan antarpribadi dapat mempunyai rasa iba, simpati, dan tanggung jawab sosial yang besar seperti halnya tokoh terkemuka India, Mahatma Gandhi, tetapi dapat juga gemar melakukan manipulasi serta berlaku licik dan busuk seperti Niccolo Machiavelli. Namun, mereka semua memiliki kemampuan memahami orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang bersangkutan sehingga mereka dapat menjadi networker, negosiator, dan pengajar yang andal.
·          Kecerdasan intrapribadi atau kecerdasan dalam diri sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan ini dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai macam keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan mengarahkan kehidupannya. Mereka yang memiliki kecerdasan intrapribadi berprofesi sebagai konselor, teolog, dan wirausahawan. Mereka menyukai introspeksi dan meditasi, kontemplasi, atau bentuk lain penelusuran jiwa yang mendalam. Namun, mereka juga sangat mandiri, sangat fokus pada tujuan, dan sangat disiplin. Umumnya mereka suka belajar sendiri dan lebih memilih bekerja sendiri daripada bekerja dengan orang lain (Armstrong, 1999: 3–6).
·          Kecerdasan naturalis (lingkungan). Menurut Howard Gardner, kecerdasan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk memahami flora dan fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif dalam berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Kecerdasan lingkungan yang tinggi akan menjadikan seseorang mampu hidup di luar rumah, mampu bersahabat dan berhubungan baik dengan alam, serta mudah membuat identifikasi dan klasifikasi seputar tanaman dan binatang. Ia mampu mengenal sifat dan tingkah laku binatang dengan baik serta biasanya mencintai lingkungan. Kecerdasan lingkungan sebenarnya agak kontroversial karena dianggap masih menjadi bagian dari kecerdasan logis-matematis. Akan tetapi, menurut Gardner, kecerdasan lingkungan berbeda dengan inteligensi logis-matematis.
·          Kecerdasan eksistensial. Kecerdasan ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjawab problem terdalam dari keberadaan (eksistensi) manusia. Orang yang memiliki kecerdasan ini tak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, melainkan mencoba untuk menyadarinya dan mencari jawaban terdalam atas pertanyaan: mengapa saya ada, untuk apa saya hidup, apa sebenarnya makna hidup ini, dan sebagainya. Kecerdasan eksistensial dimiliki banyak filsuf, utamanya filsuf aliran eksistensialis, yang rajin mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia. Socrates, Plato, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Descartes, Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, dan Nietzsche adalah para filsuf dan cendekiawan termasyhur dunia yang memiliki kecerdasan eksistensial tinggi.
Jenis-jenis kecerdasan yang secara umum dipahami terdiri atas kecerdasan intelektual (intelegent quotient –– IQ), kecerdasan emosional (emotional quotient –– EQ), kecerdasan spritual (spiritual quotient –– SQ), dan kecerdasan menghadapi kesulitan (adversity quotient –– AQ).
·         Kecerdasan intelektual (intelegent quotient –– IQ). Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan individu untuk berpikir, mengolah, dan menguasai lingkungan secara optimal serta bertindak secara terarah. Kecerdasan intelektual digunakan untuk memecahkan masalah logika dan strategis.
·         Kecerdasan emosional (emotional quotient –– EQ). Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengenali, mengendalikan, dan menata perasaan diri sendiri dan diri orang lain secara mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan diinginkan orang lain. Kecerdasan ini memberi kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain serta memberikan empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat.
·         Kecerdasan spritual (spiritual quotient –– SQ): Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang mengilhami dan melambungkan semangat seseorang dengan mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu. Kecerdasan ini digunakan untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta pemahaman terhadap standar moral. Kecerdasan spritual digunakan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan. Setiap individu memiliki potensi kecerdasan spritual yang besar. Kecerdasan ini tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan, dan materi lainnya.
·         Kecerdasan menghadapi kesulitan (adversity quotient –– AQ). Kecerdasan ini merupakan kecerdasan individu untuk bertahan dalam menghadapi berbagai kesulitan dan mengatasi tantangan hidup. Paul G. Stoltz membedakan tingkatan adversity quotient menjadi tiga, tingkat quitrers, tingkat campers, dan tingkat climbers.
v       Tingkat quitrers (orang yang berhenti). Tingat quiters adalah tingkat yang paling rendah/paling lemah AQ-nya. Mereka yang AQ-nya berada pada tingkat ini akan berhenti dan langsung menyerah saat dihadapkan pada berbagai kesulitan hidup yang pelik.
v       Tingkat campers (orang yang berkemah). Campers adalah tingkat AQ sedang. Mereka yang memiliki AQ tingkat ini merasa puas atas apa yang dicapainya dan enggan untuk lebih maju atau lebih sukses lagi.
v       Tingkat climbers (orang yang mendaki). Ini adalah tingkat AQ yang paling tinggi. Mereka yang memiliki AQ tingkat climbers akan mampu bertahan dan mengatasi kesulitan hidup serta tantangan hidup.
Selain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan menghadapi kesulitan, manusia juga memiliki kecerdasan kreativitas (creativity quotient –– CQ). Kecerdasan kreativitas adalah kecakapan individu untuk menemukan dan menciptakan hal-hal baru dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, dan sebagainya. Kreativitas meliputi dua unsur, yakni kemampuan menghasilkan sejumlah gagasan atau ide pemecahan masalah dengan lancar dan kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda dan luar biasa untuk memecahkan masalah. Adapun Guil Ford mendeskripsikan lima ciri kreativitas, yakni kemampuan memproduksi banyak ide (kelancaran), kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan jalan pemecahan masalah (keluwesan), kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinil sebagai hasil pemikiran sendiri (keaslian), kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci (penguraian), dan kemampuan untuk mengkaji kembali suatu hal melalui cara yang berbada dengan yang sudah lazim (perumusan kembali).
Manusia memiliki kecerdasan moral (moral quotient –– MQ). Kecerdasan moral adalah kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah seperti yang didefinisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum merupakan kepercayaan mengenai tingkah laku manusia secara umum pada seluruh budaya di dunia. Kecerdasan moral bukan hanya penting untuk mengefektifkan kepemimpinan, melainkan juga merupakan ‘pusat kecerdasan’ bagi seluruh manusia. Hal ini karena kecerdasan moral secara langsung mendasari kecerdasan manusia untuk berbuat sesuatu yang berguna. Kecerdasan moral menjadikan hidup manusia memiliki tujuan dan makna. Tanpa kecerdasan moral, kita tidak dapat melakukan suatu hal dengan benar serta peristiwa-peristiwa yang menjadi pengalaman menjadi tak berarti.
Manusia juga memiliki kecerdasan intuitif/visi. Orang yang mempunyai kecerdasan ini dapat merasakan suatu firasat. Mereka dapat mengetahui sesuatu itu benar atau salah semua dari naluri yang ia memiliki. Ini adalah kecerdasan seseorang yang menentukan menjadi pemimpin atau pengikut. Pemimpin-pemimpin besar dapat melihat situasi yang akan terjadi dan mengambil tindakan tepat untuk menanggapinya. Tindakan yang diambil bukan hanya berdasarkan intuisi semata, melainkan juga fakta-fakta ke belakang dan membuat keputusan dengan berani. Dalam dunia teknologi informasi, Bill Gates adalah salah satu contohnya; ia sepertinya dapat meramalkan bahwa PC akan tersedia di rumah-rumah dan nyatanya sekarang komputer bukan barang langka bagi rumah tangga.

No comments:

Post a Comment