Gabriel Garcia Marquez, sastrawan dunia yang memiliki kecerdasan linguistik (Sumber: Muladar News) |
(Sumber: Sadah Siti Hajar, Embun, http://caraelok.blogspot.co.id/search/label/Pengembangan%
20Potensi, Jumat, 20 Januari 2017)
20Potensi, Jumat, 20 Januari 2017)
Hasil penelitian-penelitian dan kajian-kajian
ilmiah oleh para ilmuwan telah membongkar misteri dan mitos serta mengoreksi
kesalahan-kesalahan yang terjadi di seputar kecerdasan. Pada masa lalu,
terutama di kalangan masyarakat awam Indonesia, kecerdasan seringkali hanya dianggap
sebagai kecakapan atau ketangkasan dalam memahami pelajaran (sekolah) atau
informasi yang bersifat pengetahuan saja. Atau, paling banter, kecerdasan
dipandang sebagai kemampuan dalam menangkap dan memahami hal-hal yang datang
atau ada di hadapan seseorang. Dalam keadaan seperti ini, makin cepat seseorang
mampu menangkap dan memahami hal-hal yang dihadapkan kepadanya, maka ia
dianggap makin cerdas, dan demikian juga sebaliknya. Akan tetapi,
anggapan-anggapan tersebut sekarang telah terkoreksi oleh serangkaian
penemuan-penemuan baru tentang kecerdasan manusia.
Berbagai
penemuan menunjukkan, kecerdasan manusia ternyata memiliki dimensi yang luas
dan kompleks. Kecerdasan tidak semata-mata hanya terkait dengan ‘kemampuan
otak’ dalam pengertian fisik sebagai bagian dari organ tubuh manusia, melainkan
juga dengan organ-organ tubuh lain serta juga perasaan atau emosi. Howard Gardner mengungkap rahasia di balik
kecerdasan, bahwa manusia lebih rumit daripada apa yang dijelaskan melalui tes
IQ atau tes apa pun. Ia mengatakan bahwa orang yang berbeda memiliki kecerdasan
yang berbeda.
Oleh
karena itu, saat ini kita mengenal berbagai jenis kecerdasan: kecerdasan
intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan fisik,
kecerdasan visual, dan sebagainya. Lebih lengkap dan terperinci berikut ini
dipaparkan berbagai jenis kecerdasan yang (diyakini) dimiliki oleh manusia.
Manusia
memiliki sembilan jenis kecerdasan. Kesembilan kecerdasan tersebut ialah
kecerdasan logis-matematis, kecerdasan linguistik, kecerdasan
kinestetik-jasmani (kecerdasan fisik), kecerdasan spasial, kecerdasan musikal,
kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi (kecerdasan dalam diri
sendiri), kecerdasan naturalis (lingkungan), dan kecerdasan eksistensial.
Kecuali kecerdasan eksistensial, delapan kecerdasan lainnya merupakan temuan
Howard Gardner, tokoh pendidikan dan psikologi yang mencetuskan teori
kecerdasan majemuk (multiple
intelligences).
·
Kecerdasan
logis-matematis. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan dalam angka dan logika; kecerdasan
yang biasanya dimiliki oleh para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram komputer.
Fisikawan Isaac Newton dan Albert Einstein memanfaatkan kecerdasan ini saat
mereka menghasilkan penemuan besarnya masing-masing (Newton dengan kalkulusnya
dan Einstein dengan teori relativitasnya). Kecerdasan logis-matematis meliputi
kecakapan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola sebab-akibat,
menyusun hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau pola numerik, dan
rasionalitas.
·
Kecerdasan
linguistik. Kecerdasan ini adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Kecerdasan
ini dimiliki para wartawan, sastrawan, penulis teks pidato, dan orator.
Kecerdasan jenis ini menghasilkan karya besar dalam bidang sastra, seperti King Lear (William Shakespeare), Doctor Zhivago (Boris Pasternak), Waiting for Godot (Samuel Beckett), dan One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez). Orang yang
memiliki kecerdasan ini mampu menulis, berargumentasi, meyakinkan orang, atau
mengajar dengan efektif melalui rangkaian kalimat yang disampaikannya. Mereka
kutu buku, dapat menulis dengan jelas dan lincah, serta mampu mengartikan
bahasa tulisan secara luas.
·
Kecerdasan
kinestetik-jasmani. Kecerdasan ini disebut kecerdasan fisik. Tercakup di
dalamnya bakat mengendalikan gerak tubuh dan keterampilan dalam menangani
benda. Atlet, penari, pengrajin, montir, dan ahli bedah memiliki kecerdasan
kinestetik-jasmani tingkat tinggi. Orang berkecerdasan fisik memiliki
keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit model. Mereka menyukai
kegiatan fisik, seperti berjalan kaki, menari, berlari, berkemah, berenang,
atau arung jeram. Mereka cekatan, lincah, indra perabanya sangat peka, tak bisa
diam, dan menaruh minat terhadap sangat banyak hal.
·
Kecerdasan
spasial. Kecerdasan ini mencakup kemampuan berpikir dalam gambar serta
kemampuan untuk memperhatikan (mencerap), mengubah, dan menciptakan kembali
berbagai macam dunia visual-spasial. Kecerdasan spasial biasanya dimiliki oleh
para arsitek, fotografer, pilot, dan insinyur mesin. Orang yang memiliki derajat
kecerdasan spasial yang tinggi punya kepekaan yang kuat terhadap detail visual
sehingga dapat menggambarkan sesuatu dengan sangat hidup, melukis atau membuat
sketsa ide dengan jelas, serta mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga
dimensi. Tokoh yang memiliki kecerdasan ini, antara lain, Basuki Abdullah, Dede
Eri Supria, Thomas Alva Edison, Pablo Picasso, dan Rembrandt.
·
Kecerdasan
musikal. Ciri utama kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk mencerap,
menghargai, dan menciptakan irama dan melodi. Musisi seperti Mozart, Bach,
Beethoven, Chopin, Jimi Hendrix, Bob Marley, dan pemain gamelan Bali memiliki
kecerdasan musikal. Kecerdasan musikal juga dimiliki orang yang sensitif akan
nada, mampu menyanyikan lagu dengan memukau, dan mampu mengikuti irama musik.
·
Kecerdasan
antarpribadi. Kecerdasan ini adalah kecerdasan untuk memahami dan menjalin
hubungan dengan orang lain. Kecerdasan antarpribadi terutama menuntut kemampuan
untuk mencerap dan tanggap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan kemauan
orang lain. Mereka yang memiliki kecerdasan antarpribadi dapat mempunyai rasa
iba, simpati, dan tanggung jawab sosial yang besar seperti halnya tokoh
terkemuka India, Mahatma Gandhi, tetapi dapat juga gemar melakukan manipulasi
serta berlaku licik dan busuk seperti Niccolo Machiavelli. Namun, mereka semua
memiliki kemampuan memahami orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang
orang yang bersangkutan sehingga mereka dapat menjadi networker, negosiator, dan pengajar yang andal.
·
Kecerdasan
intrapribadi atau kecerdasan dalam diri sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan
ini dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai macam
keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan
mengarahkan kehidupannya. Mereka yang memiliki kecerdasan intrapribadi
berprofesi sebagai konselor, teolog, dan wirausahawan. Mereka menyukai
introspeksi dan meditasi, kontemplasi, atau bentuk lain penelusuran jiwa yang
mendalam. Namun, mereka juga sangat mandiri, sangat fokus pada tujuan, dan sangat
disiplin. Umumnya mereka suka belajar sendiri dan lebih memilih bekerja sendiri
daripada bekerja dengan orang lain (Armstrong, 1999: 3–6).
·
Kecerdasan
naturalis (lingkungan). Menurut Howard Gardner, kecerdasan lingkungan adalah
kemampuan seseorang untuk memahami flora dan fauna dengan baik, dapat membuat
distingsi konsekuensial lain dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan
menikmati alam; dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif dalam
berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Kecerdasan
lingkungan yang tinggi akan menjadikan seseorang mampu hidup di luar rumah,
mampu bersahabat dan berhubungan baik dengan alam, serta mudah membuat
identifikasi dan klasifikasi seputar tanaman dan binatang. Ia mampu mengenal
sifat dan tingkah laku binatang dengan baik serta biasanya mencintai
lingkungan. Kecerdasan lingkungan sebenarnya agak kontroversial karena dianggap
masih menjadi bagian dari kecerdasan logis-matematis. Akan tetapi, menurut
Gardner, kecerdasan lingkungan berbeda dengan inteligensi logis-matematis.
·
Kecerdasan
eksistensial. Kecerdasan ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjawab
problem terdalam dari keberadaan (eksistensi) manusia. Orang yang memiliki
kecerdasan ini tak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara
otomatis, melainkan mencoba untuk menyadarinya dan mencari jawaban terdalam
atas pertanyaan: mengapa saya ada, untuk apa saya hidup, apa sebenarnya makna
hidup ini, dan sebagainya. Kecerdasan eksistensial dimiliki banyak filsuf,
utamanya filsuf aliran eksistensialis, yang rajin mempertanyakan dan mencoba
menjawab persoalan eksistensi hidup manusia. Socrates, Plato, Al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Rusyd, Descartes, Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, dan Nietzsche
adalah para filsuf dan cendekiawan termasyhur dunia yang memiliki kecerdasan
eksistensial tinggi.
Jenis-jenis
kecerdasan yang secara umum dipahami terdiri atas kecerdasan intelektual (intelegent quotient –– IQ), kecerdasan
emosional (emotional quotient –– EQ),
kecerdasan spritual (spiritual quotient
–– SQ), dan kecerdasan menghadapi kesulitan (adversity quotient –– AQ).
· Kecerdasan
intelektual (intelegent quotient ––
IQ). Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan individu untuk berpikir,
mengolah, dan menguasai lingkungan secara optimal serta bertindak secara
terarah. Kecerdasan intelektual digunakan untuk memecahkan masalah logika dan
strategis.
· Kecerdasan
emosional (emotional quotient –– EQ).
Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengenali, mengendalikan,
dan menata perasaan diri sendiri dan diri orang lain secara mendalam sehingga
kehadirannya menyenangkan dan diinginkan orang lain. Kecerdasan ini memberi
kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain serta
memberikan empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan
atau kegembiraan secara tepat.
· Kecerdasan
spritual (spiritual quotient –– SQ):
Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang mengilhami dan melambungkan semangat
seseorang dengan mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu.
Kecerdasan ini digunakan untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah,
serta pemahaman terhadap standar moral. Kecerdasan spritual digunakan manusia
untuk berhubungan dengan Tuhan. Setiap individu memiliki potensi kecerdasan
spritual yang besar. Kecerdasan ini tidak dibatasi oleh faktor keturunan,
lingkungan, dan materi lainnya.
· Kecerdasan
menghadapi kesulitan (adversity quotient
–– AQ). Kecerdasan ini merupakan kecerdasan individu untuk bertahan dalam
menghadapi berbagai kesulitan dan mengatasi tantangan hidup. Paul G. Stoltz
membedakan tingkatan adversity quotient
menjadi tiga, tingkat quitrers,
tingkat campers, dan tingkat climbers.
v
Tingkat quitrers
(orang yang berhenti). Tingat quiters
adalah tingkat yang paling rendah/paling lemah AQ-nya. Mereka yang AQ-nya
berada pada tingkat ini akan berhenti dan langsung menyerah saat dihadapkan
pada berbagai kesulitan hidup yang pelik.
v
Tingkat campers
(orang yang berkemah). Campers adalah
tingkat AQ sedang. Mereka yang memiliki AQ tingkat ini merasa puas atas apa
yang dicapainya dan enggan untuk lebih maju atau lebih sukses lagi.
v Tingkat climbers
(orang yang mendaki). Ini adalah tingkat AQ yang paling tinggi. Mereka yang
memiliki AQ tingkat climbers akan
mampu bertahan dan mengatasi kesulitan hidup serta tantangan hidup.
Selain
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan
kecerdasan menghadapi kesulitan, manusia juga memiliki kecerdasan kreativitas (creativity quotient –– CQ). Kecerdasan
kreativitas adalah kecakapan individu untuk menemukan dan menciptakan hal-hal
baru dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, dan sebagainya.
Kreativitas meliputi dua unsur, yakni kemampuan menghasilkan sejumlah gagasan
atau ide pemecahan masalah dengan lancar dan kemampuan untuk menemukan gagasan
yang berbeda dan luar biasa untuk memecahkan masalah. Adapun Guil Ford
mendeskripsikan lima ciri kreativitas, yakni kemampuan memproduksi banyak ide
(kelancaran), kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan jalan
pemecahan masalah (keluwesan), kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinil
sebagai hasil pemikiran sendiri (keaslian), kemampuan menguraikan sesuatu
secara terperinci (penguraian), dan kemampuan untuk mengkaji kembali suatu hal
melalui cara yang berbada dengan yang sudah lazim (perumusan kembali).
Manusia
memiliki kecerdasan moral (moral quotient
–– MQ). Kecerdasan moral adalah kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang
salah seperti yang didefinisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum merupakan
kepercayaan mengenai tingkah laku manusia secara umum pada seluruh budaya di
dunia. Kecerdasan moral bukan hanya penting untuk mengefektifkan kepemimpinan,
melainkan juga merupakan ‘pusat kecerdasan’ bagi seluruh manusia. Hal ini
karena kecerdasan moral secara langsung mendasari kecerdasan manusia untuk
berbuat sesuatu yang berguna. Kecerdasan moral menjadikan hidup manusia
memiliki tujuan dan makna. Tanpa kecerdasan moral, kita tidak dapat melakukan
suatu hal dengan benar serta peristiwa-peristiwa yang menjadi pengalaman
menjadi tak berarti.
Manusia
juga memiliki kecerdasan intuitif/visi. Orang yang mempunyai kecerdasan ini
dapat merasakan suatu firasat. Mereka dapat mengetahui sesuatu itu benar atau
salah semua dari naluri yang ia memiliki. Ini adalah kecerdasan seseorang yang
menentukan menjadi pemimpin atau pengikut. Pemimpin-pemimpin besar dapat
melihat situasi yang akan terjadi dan mengambil tindakan tepat untuk
menanggapinya. Tindakan yang diambil bukan hanya berdasarkan intuisi semata,
melainkan juga fakta-fakta ke belakang dan membuat keputusan dengan berani.
Dalam dunia teknologi informasi, Bill Gates adalah salah satu contohnya; ia
sepertinya dapat meramalkan bahwa PC akan tersedia di rumah-rumah dan nyatanya
sekarang komputer bukan barang langka bagi rumah tangga.
No comments:
Post a Comment