Yap Thiam Hien, salah satu pendekar HAM Indonesia (Sumber: indochinatown) |
(Sumber: Sadah Siti Hajar, Embun, http://caraelok.blogspot.co.id/2016/12/seri-pejuang-dan-pahlawan-hak-asasi_24.html, 24 Desember 2016)
Yap
Thiam Hien lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada tanggal 25 Mei 1913. Ia adalah
anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan pasangan Yap Sin Eng dan
Hwan Tjing Nio. Kakek buyut Yap Thiam Hien berasal dari Provinsi Guangdong,
Cina, yang bermigrasi ke Bangka dan kemudian pindah ke Aceh.
Yap
Thiam Hien mengawali pendidikannya di Europesche Lagere School, Banda Aceh,
kemudian meneruskan ke MULO, Banda Aceh. Bersama adiknya, Thiam Bong, Thiam
Hien diboyong orang tuanya ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1920-an.
Pendidikannya yang belum tamat di MULO Banda Aceh kemudian dilanjutkan di MULO
Batavia. Setamat MULO, ia meneruskan ke AMS Bandung dan Yogyakarta, mengambil
jurusan A-II program bahasa dan sastra Barat (tamat tahun 1933). Pada awal
tahun 1946, ia merantau ke Belanda dengan menjadi pekerja pada sebuah kapal
pemulangan orang-orang Belanda. Kesempatan ini kemudian ia manfaatkan untuk
meneruskan studi ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda –– lulus dengan
gelar Meester de Rechten (Mr.).
Thiam
Hien mencari nafkah dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia berturut-turut menjadi
guru di Chineesche Kweekschool, Jakarta; Chinese Zendingschool, Cirebon;
Tionghwa Hwee Kwan Holl,China School, Rembang; dan Christelijke School,
Batavia. Ia juga pernah bekerja sebagai pencari pelanggan telepon, bekerja pada
kantor asuransi di Jakarta (1938), dan menjadi pegawai Balai Harta Peninggalan
Departemen Kehakiman (1943). Setelah pada tahun 1950 menjadi pengacara, lima
tahun kemudian (1955), Thiam Hien menjadi anggota DPR dan Konstituante.
·
Dari
Feodal Menjadi Anti Penindasan
Sejak
kecil, Thiam Hien sudah menjadi anak yatim. Ibunya, Hwang Tjing Nio, meninggal
dunia saat Thiam Hien berusia sembilan tahun. Thiam Hien bersama dua adiknya
kemudian diasuh oleh Sato Nakashima, perempuan Jepang yang menjadi gundik kakek Thiam Hien. Kendatipun
Thiam Hien bersaudara bukan anak kandungnya, Sato memberikan sentuhan kemesraan
dan kasih sayang yang diperlukan ketiga anak itu –– suatu hal yang seringkali
terabaikan dalam keluarga Tionghoa ketika itu.
Sebelum
diasuh Sato, Thiam Hien bersaudara hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat
feodalistik. Namun, lingkungan feodalistik masa kolonial yang lazim represif
dan sarat kesewenang-wenangan tidak membuat Thiam Hien larut menjadi pribadi
feodal yang suka menindas. Di tengah situasi dan kondisi kehidupan yang
feodalistik, Thiam Hien kecil yang masih dalam masa pertumbuhan justru menjadi
seorang pemberontak dan pembenci penindasan dan kesewenangan-wenangan.
Sentuhan
kasih sayang Sato Nakashima yang berperan sebagai ibu di sisi lain kiranya
turut membentuk Thiam Hien menjadi pribadi yang sensitif dalam soal kasih
sayang dan penindasan. Dalam dua hal ini, Thiam Hien rupanya tumbuh menjadi
pribadi yang dikotomis: di sisi satu menjadi pendamba kasih sayang dan di sisi
lain menjadi pembenci penindasan. Itulah sebabnya, setelah dewasa ia menjelma
menjadi figur yang terobsesi oleh keinginan untuk membela orang-orang yang
hidupnya tertindas dan teraniaya.
·
Mengabdi
untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia
Berbagai
pekerjaan atau profesi telah dijalani Thiam Hien semasa hidupnya. Sosoknya
sebagai seorang pejuang keadilan dan hak asasi manusia mulai menonjol setelah
peraih gelar doktor honoris causa bidang
hukum ini menjadi pengacara. Selama menjadi pengacara, Thiam Hien dikenal gigih
melakukan pembelaan terhadap orang-orang yang dalam pandangannya menjadi korban
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Thiam
Hien mengawali profesi pengacaranya pada sekitar tahun 1948–1949. Sebagai
pengacara pemula, awalnya ia berkiprah dengan menjadi pengacara orang-orang
keturunan Tionghoa di Jakarta. Namun, sejalan dengan makin banyaknya terjadi
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, ia mengembangkan perjuangannya dengan
cakupan yang jauh lebih luas dan kompleks dari sekadar membela orang-orang
keturunan Tionghoa.
Pada
tahun 1950, ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar
Kusumaatmadja, dan Komar untuk meneruskan perjuangannya membela para korban
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Untuk makin memperkuat upaya penegakan
keadilan dan hak asasi manusia, bersama beberapa tokoh penting lain –– seperti
H.J.C. Princen dan Adnan Buyung Nasution –– ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (LBHI) serta turut mempelopori pendirian Peradin (Persatuan Advokat
Indonesia). Sebagai advokat pejuang, pada tahun 1970 ia mendirikan kantor
pengacara sendiri. Ia juga memperluas perjuangannya dengan menjadi anggota DPR
dan Konstituante setelah pemilu 1955.
Hampir
seluruh atau sebagian besar waktu hidup Thiam Hien selama menjadi advokat
(pengacara), dihabiskannya untuk berjuang di jalur penegakan dan pembelaan hak
asasi manusia. Ia tidak saja dikenal sebagai pemberani yang gigih, melainkan
juga tanpa kompromi dalam membela kaum miskin dan minoritas yang terpinggirkan.
Sungguhpun pada awalnya lebih condong pada pembelaan kalangan tertentu ––
khususnya warga keturunan Tionghoa –– ia kemudian juga konsi
Thiam
Hien adalah seorang keturunan Tionghoa dan pemeluk Kristen, tetapi sebagai
pengacara ia melakukan pembelaan terhadap para korban ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan dari luar etnik dan agamanya. Ia tidak memilih dan membeda-bedakan
kliennya. Dengan motonya yang terkenal “Biarpun langit runtuh, keadilan harus
tetap ditegakkan” (Fiat justitia, ruat
caelum), ia melakukan pembelaan terhadap semua korban penindasan yang
membutuhkan uluran tangannya.
Para
pedagang Pasar Senen, Jakarta, yang berasal dari berbagai suku dan agama serta
menjadi korban penggusuran, pernah ia bela dengan gigih di pengadilan. Pada
masa Orde Lama, ia menulis artikel persuasif yang isinya meminta pembebasan
beberapa tokoh tahanan politik korban kediktatoran Presiden Soekarno, seperti
Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, H.J.C. Princen,
dan Soebadio. Sebagai pemeluk Kristen taat yang antikomunis, Thiam Hien membela
para tersangka pelaku G-30-S, seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat.
Pada peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974, ia gigih
membela para mahasiswa hingga ia sendiri kemudian ditangkap dan ditahan.
Masyarakat muslim Tanjungpriok, Jakarta, yang menjadi korban penembakan massal
militer rezim Orde Baru tahun 1984 juga pernah ia bela.
Adapun
melalui jalur politik, Thiam Hien juga berjuang keras mewujudkan persamaan hak
warga negara tanpa memandang asal-usul. Sebagai politisi, namanya mencuat dalam
perdebatan konstitusi tahun 1959. Dalam kapasitas sebagai anggota Konstituante,
dengan vokal ia mempersoalkan Pasal 6 UUD 1945 yang dalam pandangannya bersifat
diskriminatif. Ia juga mempermasalahkan kedudukan presiden yang dianggapnya
terlalu kuat.
·
Diabadikan
untuk Nama Penghargaan Hak Asasi Manusia
Yap
Thiam Hien beristrikan Tan Gian Khing Nio. Pernikahan mereka membuahkan dua
orang anak. Istrinya yang bekerja sebagai guru mendukung penuh usaha dan
perjuangan Thiam Hien menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
Thiam
Hien mampu memanfaatkan dengan baik dukungan istrinya itu. Setelah Thiam Hien
meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, namanya melekat dalam ingatan
banyak orang sebagai seorang pengabdi hukum sekaligus pejuang keadilan dan hak
asasi manusia. Bagi kalangan hukum khususnya dan masyarakat umumnya, ia
dianggap sebagai tokoh yang perilaku dan perjuangannya menjadi sumber teladan
dan inspirasi.
Thiam
Hien dianggap berjasa dalam upaya menghapuskan diskriminasi, ketidakadilan, dan
penindasan. Bersama beberapa tokoh lain, pengabdian dan perjuangannya dinilai
banyak kalangan sebagai tonggak dan rintisan penting bagi upaya penegakan
hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Untuk menghormati dan mengenang
jasa-jasa perjuangannya yang konsisten itu, nama Yap Thiam Hien diabadikan oleh
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Indonesia menjadi nama penghargaan untuk
perjuangan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia (Yap Thiam Hien Award).
No comments:
Post a Comment