Munir, tokoh pejuang HAM (kompas.com) |
(Sumber: Sadah Siti Hajar, Embun, http://caraelok.blogspot.co.id/2016/12/seri-pejuang-dan-pahlawan-hak-asasi_21.html, 24 Desember 2016)
Munir
Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, tanggal 8 Desember 1965. Pria
keturunan Arab ini beristrikan seorang wanita Jawa, Suciwati. Pernikahannya
dengan wanita yang pernah ia bela dalam sengketa perburuhan ini menghasilkan
dua orang putra. Di tengah kehidupan keluarganya yang bersahaja, Munir dikenal
gemar bercanda serta menyayangi anak dan istrinya.
Munir
adalah seorang sarjana S-1 lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang. Sejak kuliah, ia aktif berorganisasi. Di kampusnya, antara lain, ia
aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjadi ketua Senat Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (1989). Munir merupakan aktivis
organisasi. Di luar kampus, ia menjadi sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang
(1988), anggota Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah, dan Sekretaris
Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.
·
Pembela
HAM yang Gigih
Sebagai
sarjana hukum, perhatian Munir hampir seluruhnya tercurah pada upaya pembelaan
kalangan masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan. Setelah lulus kuliah, ia
menjadi sukarelawan LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Surabaya (1989).
Kegigihan dan konsistensinya dalam memberi advokasi kepada kaum tertindas
mengantarkannya pada jabatan-jabatan penting dalam lembaga pembelaan hukum dan
hak asasi manusia. Berturut-turut ia menjadi ketua LBHI Pos Malang, koordinator
divisi pembunuhan dan divisi hak sipil politik LBHI Surabaya (1992-1993),
kepala bidang operasional LBHI Surabaya (1993-1995), direktur LBHI Semarang
(1996), sekretaris bidang operasional YLBHI (1996), wakil ketua bidang
operasional YLBHI (1997), wakil ketua dewan pengurus YLBHI (1998), koordinator
badan pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau
Kontras (1998-2001), direktur eksekutif lembaga pemantau HAM Indonesia
Imparsial, serta ketua dewan pengurus Kontras (2001).
Sejak
awal tahun 1990-an, nama Munir mulai populer sebagai aktivis hak asasi manusia.
Dalam suasana kehidupan represif akibat pemerintahan Orde Baru yang otoriter,
Munir mulai menempuh jalan berbahaya: menjadi pembela dan penasihat hukum
orang-orang yang dituduh membangkang terhadap kebijakan rezim Orde Baru. Ia
memberikan advokasi kepada beberapa tokoh kritis dan vokal, seperti Sri Bintang
Pamungkas, Muchtar Pakpahan, Dita Indah Sari, dan Coen Husen Pontoh dalam kasus
subversif –– kasus yang saat itu tergolong sangat serius. Munir, antara lain,
juga menjadi penasihat hukum George Aditjondro yang dituduh menghina pemerintah
serta memberikan pembelaan hukum kepada masyarakat Tanjungpriok (Jakarta) dan
masyarakat Nipah (Madura) –– masyarakat di kedua tempat ini merupakan korban
pembantaian militer Orde Baru.
Reputasi
Munir kemudian melambung tinggi pada akhir dekade 1990-an. Di tengah krisis
ekonomi, politik, dan hukum tahun 1997 dan 1998 serta gencarnya praktik
kesewenang-wenangan rezim Orde Baru terhadap para aktivis prodemokrasi dan
proreformasi, Munir menjelma menjadi tokoh muda pembela hak asasi manusia
fenomenal yang tak tertandingi. Dalam kapasitas sebagai koordinator Kontras, ia
menjadi pembela dan penasihat hukum 24 aktivis prodemokrasi dan proreformasi
korban penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa militer Orde Baru. Pada
masa-masa itu, publik Indonesia dibuat takjub dan terpana oleh keberanian dan
konsistensi Munir dalam melakukan pendampingan dan pembelaan kepada para korban
penindasan rezim Orde Baru.
Munir
tidak melakukan pembelaan dan advokasi hak asasi manusia secara konvensional.
Ia tak melulu melakukan konsultasi dengan para korban pelanggaran hak asasi
manusia atau sekadar duduk sebagai pembela bagi para korban di ruang sidang
pengadilan. Ia terkenal memiliki sikap yang vokal dan kritis terhadap rezim
Orde Baru. Munir sering melancarkan kritik yang tajam dan terukur secara
terbuka terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang melanggar hak asasi
manusia. Melalui berbagai forum resmi dan ilmiah, Munir juga tidak jarang
mengemukakan pemikirannya yang kritis dan berbobot tentang upaya perbaikan hak
asasi manusia di Indonesia.
Perjuangan
Munir yang konsisten serta tak mengenal rasa takut dan lelah dalam membela
kalangan tertindas di sisi satu mengundang simpati masyarakat luas serta di
sisi lain membuat kecut dan khawatir rezim Orde Baru. Ancaman dan teror yang
berkali-kali dilancarkan aparat Orde Baru kepadanya tidak menyurutkan niatnya
untuk terus memberikan pendampingan dan pembelaan kepada para korban
kesewenang-wenangan rezim penguasa. Bagi rezim Orde Baru, Munir dirasakan
sebagai “ancaman” yang dapat mengganggu kredibilitas dan kekuasaan mereka.
Namun, di mata publik kebanyakan –– yang
di bawah pemerintahan Orde Baru hidup dalam tekanan dan kekangan –– Munir dianggap
sebagai pejuang dan pendekar hak asasi manusia sejati yang berjasa
menetralisasi kesewenang-wenangan rezim Orde Baru sekaligus membuka
simpul-simpul kebebasan.
Untuk
jasa-jasanya yang langka itu, Munir banyak mendapat pujian dan penghargaan.
Berbagai lembaga kemanusiaan dari dalam dan luar negeri menganugerahi pria
bersahaja ini dengan sejumlah penghargaan. Sebuah lembaga di Swedia memberinya
penghargaan Right Livelihood Award 2000 untuk pengabdian bidang kemajuan hak
asasi manusia dan kontrol sipil terhadap militer serta Unesco (PBB)
menganugerahinya penghargaan Mandanjeet Sing Prize untuk jasanya mempromosikan
toleransi dan anti kekerasan (2000). Majalah Ummat, Jakarta, menobatkannya
sebagai Man of The Year 1998, majalah
Asiaweek memberinya penghargaan
sebagai Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (1999), dan Aliansi
Jurnalis Independen memberikan penghargaan Suardi Tasrif Awards (1998). Pada
tahun 1998, Pusat Studi Hak Asasi Manusia juga menetapkan Munir dan Kontras
sebagai penerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan prestisius dalam bidang
penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
·
Meruntuhkan
Asumsi Umum tentang Keberanian dan Perjuangan
Figur
Munir sering menimbulkan keraguan tentang hubungan antara ukuran fisik dengan
keberanian dan kepahlawanan seseorang. Keberanian dan kepahlawanan seseorang
senantiasa dikait-kaitkan dengan ukuran dan tampilan tubuh: bahwa seorang
pemberani dan berjiwa pahlawan lazimnya memiliki tubuh yang tinggi, besar,
serta kekar berotot. Dilihat dari kriteria ini, Munir tidak masuk hitungan atau
diragukan dapat menjadi seorang pemberani, pejuang, dan pahlawan karena
tubuhnya kecil lagi kurus.
Namun,
siapa pun akhirnya tidak dapat membantah bahwa Munir (ternyata) merupakan sosok
yang “besar”. Tubuhnya memang kecil, tetapi ia mampu membuktikan dengan kinerja
nyata bahwa keberanian dan kejuangannya sungguh besar. Munir menjadi satu dari
sangat sedikit orang yang dapat meruntuhkan asumsi umum bahwa untuk menjadi
pemberani dan pejuang dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa, seseorang
harus atau perlu memiliki postur fisik yang ideal: tinggi, besar, atletis, dan
kuat. Dengan sangat baik Munir memperlihatkan, kendatipun ia tidak mempunyai
ukuran tubuh seorang pemberani dan pahlawan, ia mampu menjadi pejuang nilai-nilai
kemanusiaan di tengah kepungan dan gempuran kesewenang-wenangan penguasa. Munir
mampu menjadi pembela hak asasi manusia yang baik dengan
keterbatasan-keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Munir
dapat menjadi pejuang hak asasi manusia yang tangguh tidak dengan mengandalkan
kekuatan fisik, melainkan lebih dengan tekad, semangat, dan gagasan. Ia juga
dapat menjadi aktivis yang kebal ancaman dan teror karena selain memiliki nyali
yang luar biasa, ia juga memiliki kepedulian dan empati yang besar terhadap
orang-orang yang haknya terampas dan tertindas. Apa yang dilakukan Munir selama
hidupnya kiranya tidak ia maksudkan untuk mendapat pengakuan dan penghargaan
publik, melainkan sebagai wujud panggilan tugas dan hati nurani.
Seperti
halnya yang dilakukan Munir, perjuangan dengan modal panggilan tugas dan hati
nurani seringkali justru meletupkan energi sangat besar yang sulit sekali
dihentikan. Kendatipun dicoba dibendung dengan kekuatan fisik yang besar atau
bahkan dengan barisan pasukan dan senjata yang mematikan, perjuangan semacam
itu akan terus menyeruak ke depan. Intimidasi, teror, peluru, atau apa pun
sulit sekali digunakan untuk menghentikannya.
·
Pahlawan
HAM
Munir
aktif dalam upaya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sampai akhir
hayatnya. Ia meninggal dunia pada 7 September 2004 akibat pembunuhan. Dalam
perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda, untuk meneruskan studi
pascasarjana ilmu hukum, ia diracun dengan arsenik yang dibubuhkan ke dalam
makanan yang dihidangkan kepadanya di dalam pesawat. Kepastian mengenai
kematiannya yang disebabkan pembunuhan dengan racun diperoleh melalui
penyelidikan dan visum yang dilakukan kepolisian Belanda serta sidang
pengadilan kasusnya yang menghadirkan beberapa terdakwa sebagai pelaku
pembunuhan.
Berbagai
kalangan yakin, kematian Munir terkait dengan upaya perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia yang gigih ia lakukan. Beberapa oknum mantan petinggi militer
Orde Baru yang menaruh dendam banyak disebut sebagai otak pelaku pembunuhan.
Mereka mencoba menghentikan sepak terjang Munir dengan berbagai cara, termasuk
dengan menghabisinya. Sampai saat menjelang kematiannya, Munir memang vokal
menyebut militer Orde Baru sebagai pelaku banyak pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia serta penghalang terbesar dalam upaya perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia di Indonesia.
Kematian
Munir yang diakibatkan oleh pembunuhan membuktikan bahwa Munir sangat sulit
dihentikan dengan cara apa pun dan oleh siapa pun dalam memperjuangkan tegaknya
hak asasi manusia di negeri ini. Hanya kematian yang dapat menghentikannya dari
upaya mulia memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, pembunuhan
yang ditujukan pada Munir kiranya tidak dapat “membuat mati” semua hal yang
dimiliki dan dilakukan Munir.
Berbagai
upaya yang dilakukan Munir sebelum kematiannya sudah telanjur membekas serta
menebarkan benih-benih perjuangan penegakan hak asasi manusia pada banyak
kalangan. Benih-benih itu tumbuh dan bermekaran setelah kematiannya yang
tragis. Di mata banyak sahabat, kolega, dan kalangan masyarakat yang pernah
merasakan sentuhan pembelaan Munir, jiwa dan semangat Munir tidak dapat
dimatikan. Mereka menyatakan akan berjuang terus melanjutkan upaya-upaya yang
sudah dirintis almarhum.
Bagi
mereka, Munir telah berjasa membangkitkan kesadaran hak asasi manusia
masyarakat, menggerakkan semangat dan keberanian masyarakat untuk melawan
penindasan, serta meletakkan fondasi model dan upaya perbaikan dan pemajuan hak
asasi manusia di Indonesia. Di mata mereka, Munir merupakan salah satu tokoh
dan tulang punggung upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia di Indonesia. Bagi mereka, apa yang dilakukan Munir selama ini sudah
memadai untuk menjadikannya sebagai pahlawan sejati hak asasi manusia, yang
perjuangannya harus dan akan terus dilanjutkan.
No comments:
Post a Comment