Haji Johannes Cornelis Princen, desertir Belanda yang menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia (Sumber: (Arsip Indonesia-jadiberita.com) |
(Sumber:
Sadah Siti Hajar, Embun, http://caraelok.blogspot.co.id/2016/12/seri-pejuang-dan-pahlawan-hak-asasi_18.html, 24 Desember 2016)
Haji
Johannes Cornelis Princen lahir di Den Haag, Belanda, pada tanggal 21 November
1925. Pria asli Belanda yang akrab dipanggil Poncke ini wafat pada tanggal 22
Februari 2002 akibat stroke.
Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur. H.J.C. Princen meninggalkan seorang istri,
Sri Mulyati, dan empat orang anak (Ratna, Iwan, Nico, dan Milanda).
Princen
menghabiskan masa kecil dan mudanya di Belanda dalam suasana perang. Setelah
menamatkan sekolah dasar, Princen melanjutkan studi ke sekolah menengah
seminari (1939–1943) dan pendidikan tentara perwira intelijen (1952). Princen
beberapa kali pindah pekerjaan dan profesi. Perjalanan kariernya dimulai dari
Biro Penasihat Ekonomi Teppema dan Vargroup Groothandel voor Chemische
Producten di Den Haag (1942–1943), kemudian Stoottroepen Regiment Brabant, dan
bekerja pada Bureau voor Nationale Veiligheid.
Pada
masa pendudukan Jerman di Belanda, Princen ditangkap Nazi, Jerman, dan disekap
di camp konsentrasi di tujuh kota di
Eropa. Ia sempat dijatuhi hukuman mati, tetapi tidak sampai dieksekusi. Pada
akhir tahun 1944, sesaat setelah bebas dari tawanan Nazi, ia ditahan pemerintah
Belanda karena menolak wajib militer. Ia kemudian dengan terpaksa masuk dinas
militer dan dikirim ke Indonesia. Di Indonesia, Princen tergabung dalam tentara
kerajaan Hindia-Belanda, KNIL.
·
Bergabung
dengan Pasukan Indonesia
Walaupun
seorang tentara, Princen merasa sangat gerah dengan perang. Ia merasakan bahwa
perang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Adapun penjajahan baginya merupakan
bentuk penindasan. Menjadi serdadu dalam situasi perang dan penjajahan membuat
pria bule ini seringkali merasa tak nyaman.
Saat
masih tinggal di negeri asalnya, Belanda, ia menyaksikan sekaligus merasakan
sendiri kekejaman pasukan Jerman yang menjajah Belanda. Ketika menjadi tentara
Belanda di Indonesia, ia juga menyaksikan dan merasakan langsung bagaimana
kekejaman pasukan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Hati nuraninya terusik dan
memberontak. Melalui pengalaman langsung, akal sehatnya kemudian dapat
menyimpulkan bahwa negaranya, Belanda, tak ubahnya dengan Jerman: sama-sama
melakukan kekejaman dan penindasan terhadap sesama manusia.
Dalam
situasi semacam itu, Princen mengalami pergulatan batin dilematis yang luar
biasa. Ia mulai melakukan evaluasi diri. Jika tetap menjadi bagian dari pasukan
Belanda dalam penjajahan di Indonesia, ia merasa tidak berbeda dengan para
serdadu Nazi Jerman yang melalukan banyak pelanggaran kemanusiaan.
Pada
saat ratusan ribu pasukan Belanda tunduk pada komando parlemen Belanda untuk
mempertahankan kolonialisme di Indonesia, ia justru mulai berpikir untuk keluar
dari barisan pasukan negaranya. Demi mengikuti tuntutan hati nuraninya, ia pun
akhirnya memutuskan untuk melakukan desersi dari pasukan Belanda serta
bergabung dengan pasukan Indonesia. Dari serdadu penjajah yang melakukan serangkaian
kekejaman, ia ingin berganti status menjadi serdadu bangsa terjajah yang
berjuang untuk membela diri dari penindasan dan mempertahankan kemerdekaan.
Pada
tanggal 26 September 1948, Princen meninggalkan Jakarta serta menyeberang ke
kubu pasukan Indonesia (TNI). Ia bergabung dengan pasukan Divisi Siliwangi
untuk ikut mempertahankan Yogyakarta dari serangan dan pendudukan pasukan
Belanda. Bersama Divisi Siliwangi, ia mengikuti longmarch dari Jawa Tengah ke Jawa Barat serta terus aktif dalam
perang gerilya melawan pasukan Belanda. Dalam sebuah pertempuran, Princen
mendapatkan pukulan telak: istrinya –– seorang perempuan Sunda –– dibunuh
tentara Belanda. Anak Princen yang masih dalam kandungan juga ikut meninggal
bersama ibunya.
Di
negeri asalnya, Princen dikecam, dicaci maki, dan berkali-kali diancam akan
dibunuh karena melakukan desersi. Ia dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan
negara. Akan tetapi, ia tak peduli; ia tetap teguh berpihak kepada Indonesia.
Untuk menanggapi hal itu, dalam sebuah percakapan dengan harian Kompas (dimuat pada edisi 26 November
2005) ia mengatakan, “Saya mengenal ‘Symphoni ke-9’ ciptaan Beethoven. Bunyi
syairnya, antara lain, semua anak manusia
harus bersaudara. Mengenai perasaan sesama saudara itu, saya rasakan ketika
saya menjadi tahanan di camp
konsentrasi Jerman. Saya pernah akan dihukum mati. Dan itulah pengalaman dari
sebuah negara yang pernah menjajah, yang kemudian dijajah negara lain.”
·
Serdadu
yang Humanis
Pengalaman
dan pergulatan Princen dalam kancah penjajahan dan peperangan yang penuh dengan
pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan membawanya pada tekad untuk menjadi pejuang
kemanusiaan. Ia rela meninggalkan bangsa dan negara asalnya demi membela dan
memperjuangkan hak-hak masyarakat korban penjajahan. Ia bahkan menyabung nyawa
serta bersedia berperang melawan (pasukan) bangsa dan negara leluhurnya demi
membantu rakyat Indonesia mempertahankan hak dan kemerdekaannya.
Apa
yang dilakukan Princen selama menjadi tentara sebenarnya sudah cukup jelas
menunjukkan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia tidak seperti
lazimnya serdadu yang umumnya bertempur untuk tujuan yang seringkali tidak
jelas, selain membunuh dan menghancurkan. Bertempur dan berperang baginya
adalah pilihan yang tak terhindarkan. Namun, ketika hal itu harus dikerjakan,
ia melakukannya untuk membela pihak yang lemah dan diserang walaupun ia harus
melawan bangsa dan negaranya sendiri.
Bagi
bangsa dan negara asalnya, Princen sangat mungkin tidak dianggap sebagai
nasionalis dan patriotik –– dan apalagi sebagai pahlawan –– melainkan sebagai
pengkhianat. Namun, bagi rakyat Indonesia, ia menunjukkan keberpihakan dan
kesetiaannya yang sangat jelas sehingga dianggap sebagai pejuang. Adapun dalam
sudut pandang objektif, tak meragukan lagi, ia dapat dikategorikan sebagai
serdadu humanis, yang berjuang untuk membela dan menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan.
·
Menjadi
Pejuang Hak Asasi Manusia
Seusai
perang, Princen menulis dan mengirim surat kepada ibundanya di Belanda. Dalam
suratnya ia menyampaikan niatnya untuk keluar dari ketentaraan serta
mempelajari sejarah budaya atau sastra. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak ingin
selamanya menjadi tentara. “Sementara ini saya masih bergabung dalam tentara
(TNI) untuk sedikit menyumbang, tetapi sebisa mungkin saya akan keluar. Masih
ada hal penting lain yang perlu dilakukan,” tulis Princen pada salah satu
bagian suratnya.
Dalam
perjalanan hidup selanjutnya, menjadi jelas kemudian bahwa ‘hal penting lain
yang perlu dilakukan’ itu adalah meneruskan perjuangan menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan di medan “pertempuran” yang lain. Sekeluarnya dari ketentaraan,
kisah perjuangan Princen memasuki
lembaran baru. Ia tidak lagi bertempur di medan perang untuk membela masyarakat
terjajah, melainkan aktif “bertempur” melalui jalur politik dan hukum untuk
memperjuangkan hak asasi manusia kaum miskin dan tertindas.
Pada
tahun 1956 Princen memasuki dunia politik dengan menjadi anggota parlemen (DPR)
untuk mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pada dasawarsa
1950-an yang penuh dengan perdebatan konstitusi, ia menjadi salah satu tokoh
politik yang penting dan populer. Ia berusaha memperjuangkan terwujudnya
komunikasi politik yang peduli dengan hak-hak rakyat.
Akibat
merasakan iklim politik yang tidak sehat karena diwarnai oleh banyaknya
penyelewengan, ia kemudian keluar dari parlemen serta memilih berjuang dari
luar tembok politik. Ia vokal mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang
memasuki akhir tahun 1950-an mulai bertindak otoriter –– terutama karena
keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Akibat sikapnya, Princen ditangkap dan
dipenjara (1957–1958). Sekeluarnya dari penjara ia mencoba lagi memperjuangkan
hak-hak rakyat melalui organisasi yang ia dirikan, Liga Demokrasi. Akibat sikap
vokalnya yang kembali mengkritik pemerintahan Soekarno yang makin
sewenang-wenang terhadap masyarakat, ia lagi-lagi ditangkap dan dipenjara
(1962–1966).
Untuk
membela kaum miskin dan tertindas, sejak pertengahan tahun 1960-an Princen
mulai merambah dunia hukum. Pada tahun 1966 ia mendirikan Lembaga Pembela Hak
Asasi Manusia (LPHAM). Ia turut mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (1970). Ia juga turut aktif mendirikan koalisi hak asasi manusia
Indonesia Front for Defending Human Right (1989), Serikat Buruh Merdeka
Setiakawan (1990), dan juga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (1998).
Sebagai
pengacara, Princen menjadi pembela hukum bagi masyarakat Tanjungpriok, Jakarta,
korban pembantaian militer Orde Baru tahun 1984 serta pendamping puluhan
mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Menteri Dalam Negeri, Rudini (1989).
Princen melakukan pembelaan hukum dengan prinsip nondiskriminasi, yakni tidak
membeda-bedakan asal-usul, agama, ras, dan sejenisnya. Ia membuktikannya,
antara lain, dengan menjadi pelindung hukum masyarakat dan mahasiswa Timor
Timur korban penyerangan militer Orde Baru serta menjadi pembela mantan lawan
politiknya, yakni para mantan anggota PKI dan orang-orang yang dituduh
simpatisan PKI yang pernah mengalami pembantaian massal.
Dari
seorang serdadu yang humanis, Princen benar-benar dikenal sebagai pejuang hak
asasi manusia. Konsistensi perjuangannya dalam menegakkan hak asasi manusia ia
pertahankan sampai akhir hayatnya. Ia seperti tak pernah lelah serta tak
mengenal waktu dan keadaaan dalam berikhtiar membela kaum tertindas. Sejak
tahun 1996, karena usia tua dan stroke,
ia sudah tidak dapat berjalan normal dan harus menggunakan kursi roda, tetapi
ia masih mendampingi para simpatisan PDIP korban penyerangan rezim Orde Baru
(dalam kasus 27 Juli 1996). Pada pertengahan tahun 2001 –– berarti beberapa
bulan sebelum wafat (22 Februari 2002) –– ia juga masih menyempatkan diri
mengabdi bagi kemanusiaan dengan mendampingi sebagian masyarakat Jakarta korban
penggusuran aparat Pemerintah Provinsi DKI.
Princen
dapat dikatakan merupakan pejuang hak asasi manusia tulen yang jalan hidupnya
penuh pergolakan batin, kaya warna, heroik, dan sarat dengan pengalaman menjadi
korban “penipuan” dan penindasan rezim penguasa. Ia pasti merasakan pergulatan
batin yang luar biasa ketika harus membelot menjadi pejuang Indonesia serta
kemudian berperang melawan pasukan bangsa dan negara leluhurnya. Ia mengecap
pengalaman yang penuh nuansa saat
setelah menjadi serdadu kemudian berjuang membela hak asasi manusia melalui
dunia politik dan hukum. Ia barangkali juga merasa “tertipu” setelah menjadi
warga negara Indonesia yang pernah dibelanya dan diharapkannya dapat menjadi
negeri yang bebas dari penindasan, ternyata ia sendiri kemudian justru
seringkali menjadi korban kesewenang-wenangan rezim pemerintah negara barunya
–– baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, ia berkali-kali
mengalami penangkapan dan pemenjaraan secara tidak adil.
Akan
tetapi, untuk jasa-jasanya yang luar biasa dalam upaya perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia di Indonesia, Princen juga mendapatkan apresiasi
yang tinggi –– suatu hal yang sudah semestinya ia terima. Para tokoh,
sahabat-sahabatnya, dan banyak kalangan masyarakat menyebutnya sebagai pejuang
sejati hak asasi manusia. Konsistensi dan dedikasi Princen dalam memperjuangkan
hak asasi manusia juga mengantarkannya menjadi penerima anugerah Yap Thiam Hien
Award untuk tahun 1992.
No comments:
Post a Comment