Anak usia 1-6 tahun tidak boleh diajari calistung (Sumber: www.bincangedukasi.com) |
(Sumber: Akhmad Zamroni, Artikulasi, http://caraelegan.blogspot.co.id/2016/12/tragedi-calistung.html,
23 Desember 2016)
Setidaknya
dalam sepuluh tahun terakhir ini kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya
pendidikan anak usia dini (PAUD) makin tumbuh subur. Hal ini ditandai dengan
tingginya antusiasme keluarga-keluarga muda untuk memasukkan putra-putrinya
yang berusia batuta (bawah tujuh tahun) ke lembaga pendidikan play group (PG) dan taman kanak-kanak
(TK). Untuk merespons kegairahan ini, lembaga PAUD (PG dan TK) baru pun banyak
didirikan oleh swasta dan pemerintah.
Namun,
sayang, kesadaran dan antusiasme tinggi akan PAUD yang disusul pendirian
lembaga PAUD baru di mana-mana tidak dibarengi dengan pemahaman yang
komprehensif dan benar mengenai PAUD. Paradigma dan image mengenai PAUD dalam pemahaman publik masih sama dengan
paradigma dan image pendidikan pada umumnya. Fungsi PAUD dianggap sama dengan
fungsi pendidikan lainnya, terutama pendidikan dasar, yakni sebagai tempat
untuk memberikan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Tragisnya,
pemahaman yang salah itu tak hanya terjadi pada para orang tua dan warga awam,
tetapi juga pada banyak sekali lembaga dan guru PAUD serta birokrat pendidikan
(terutama di tingkat bawah). Mereka umumnya sepaham, PAUD merupakan ajang yang
baik untuk menempa kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung.
Bahkan, dengan asumsi usia 0–6 tahun adalah usia emas (golden age) –– saat otak anak berkembang sangat cepat dan sedang
peka-pekanya menerima rangsangan –– siswa PAUD, yang berusia rata-rata 3–6
tahun, tidak jarang dipacu oleh guru (dengan dukungan orang tua) untuk
secepatnya mampu membaca, menulis, dan berhitung.
Hasrat
tak terbendung guru dan orang tua untuk segera menyaksikan anak terampil
membaca, menulis, dan berhitung juga dipengaruhi kebanggaan dan kesuksesan
semu. Tak sedikit guru dan orang tua merasa bangga dan sukses jika sebelum
masuk SD, anak sudah pintar membaca, menulis, dan berhitung. Ditambah untuk
melanjutkan pendidikan ke SD anak umumnya disyaratkan mampu lulus tes membaca,
menulis, dan berhitung, maka para orang tua dan guru PAUD pun kian yakin bahwa
tuntutan anak usia dini untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung memang tidak salah. SD negeri maupun swasta,
termasuk yang favorit, elite, dan mahal, dalam penerimaan siswa baru umumnya
memang memberlakukan tes membaca, menulis, dan berhitung –– sebuah kekeliruan
lain yang memperburuk keadaan.
·
Berbahaya
Hal
paling prinsip dan mendasar dalam PAUD adalah proses belajar-mengajar dilakukan
dengan menekankan kegiatan pokok ‘bermain’, bukan ‘belajar’. Pendidikan memang
hakikatnya kegiatan belajar, tetapi untuk PAUD, belajar harus dilakukan dengan
‘menyenangkan’. Aktivitas yang paling menyenangkan bagi anak usia dini tidak lain adalah bermain sehingga bentuk
implementasi pendidikan yang paling tepat untuk mereka adalah ‘bermain sambil
belajar’.
Pentingnya
kegiatan bermain dalam PAUD didasari oleh faktor perkembangan mental dan
kejiwaan anak. Mental dan kejiwaan anak usia dini (0–6 tahun) masih berada pada
tahap perkembangan awal yang rapuh dan sangat sensitif. Perkembangan demikian
menyebabkan mereka secara naluriah menjadi gemar bermain sehingga pengajaran
yang sesuai dengan potensi mereka adalah yang memberi kebebasan mereka untuk
melakukan berbagai jenis permainan, bukan menuntut mereka untuk memelajari
banyak hal yang memberatkan.
Dengan
demikian, mendidik anak usia dini dengan cara mengutamakan kegiatan belajar dan
mengabaikan kegiatan bermain bertentangan dengan perkembangan mental dan
kejiwaan anak. Karena itu, memacu siswa PG dan TK untuk belajar membaca,
menulis, dan berhitung bukan saja menyalahi fitrah, melainkan juga berbahaya.
Inilah yang oleh para pakar pendidikan dan psikologi disebut sebagai blunder yang akan menyebabkan anak
mengalami gangguan potensi dan perilaku.
Pengajaran
membaca, menulis, dan berhitung untuk PAUD jelas menyesatkan. Pengajaran model
ini adalah bentuk “pemerkosaan” mental dan jiwa yang tidak kondusif bagi
perkembangan mental dan jiwa anak. Sudjarwo, mantan Direktur PAUD Ditjen PAUDNI
Kemendikbud, menyatakan, pengajaran calistung untuk PAUD menjadi beban akademik
yang berbahaya karena dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental serta
memicu anak menjadi pemberontak (mental
hectic).
· Kembali ke
Fitrah
Pengajaran
membaca, menulis, dan berhitung untuk PAUD sangat terkait dengan persoalan
sumber daya manusia. Maraknya pengajaran membaca, menulis, dan berhitung di lembaga
PAUD akan sangat menyulitkan upaya menciptakan sumber daya manusia Indonesia
yang unggul dan kompetitif. Prof. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Kemendikbud, menyatakan, orang Indonesia umumnya miskin kreativitas
karena otak kanannya mengalami kerusakan akibat saat berusia dini mendapat
pendidikan yang salah (dipacu untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung).
Kita
tidak mungkin menganggap remeh PAUD. Riset mutakhir menunjukkan, investasi
terbesar pendidikan manusia justru berada pada usia dini (0–6 tahun). Dalam
sepanjang hidup seorang manusia, usia dini adalah saat paling penting dan
menentukan untuk dijadikan sasaran pendidikan bagi pembentukan kompetensi.
Menurut Brazelton, ahli perkembangan dan perilaku anak, pengalaman anak pada
bulan dan tahun awal kehidupannya amat menentukan kemampuannya dalam menghadapi
tantangan hidup serta menunjukkan semangat untuk belajar dan sukses dalam
pekerjaannya.
Dengan
peran dan fungsinya yang krusial untuk pembentukan kompetensi dan penciptaan SDM
yang unggul pada masa depan, PAUD harus diimplementasikan dengan cara yang
benar. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung dalam PAUD harus dihentikan.
PAUD wajib dikembalikan pada fitrahnya sebagai pendidikan yang mengutamakan
kegiatan bermain dan bukan kegiatan belajar, atau setidaknya bermain sambil belajar.
No comments:
Post a Comment