Sunday, April 1, 2018

Tragedi Calistung

Anak usia 1-6 tahun tidak boleh diajari calistung (Sumber: www.bincangedukasi.com)

(Sumber: Akhmad Zamroni, Artikulasi, http://caraelegan.blogspot.co.id/2016/12/tragedi-calistung.html, 23 Desember 2016)
Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) makin tumbuh subur. Hal ini ditandai dengan tingginya antusiasme keluarga-keluarga muda untuk memasukkan putra-putrinya yang berusia batuta (bawah tujuh tahun) ke lembaga pendidikan play group (PG) dan taman kanak-kanak (TK). Untuk merespons kegairahan ini, lembaga PAUD (PG dan TK) baru pun banyak didirikan oleh swasta dan pemerintah.
Namun, sayang, kesadaran dan antusiasme tinggi akan PAUD yang disusul pendirian lembaga PAUD baru di mana-mana tidak dibarengi dengan pemahaman yang komprehensif dan benar mengenai PAUD. Paradigma dan image mengenai PAUD dalam pemahaman publik masih sama dengan paradigma dan image pendidikan pada umumnya. Fungsi PAUD dianggap sama dengan fungsi pendidikan lainnya, terutama pendidikan dasar, yakni sebagai tempat untuk memberikan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Tragisnya, pemahaman yang salah itu tak hanya terjadi pada para orang tua dan warga awam, tetapi juga pada banyak sekali lembaga dan guru PAUD serta birokrat pendidikan (terutama di tingkat bawah). Mereka umumnya sepaham, PAUD merupakan ajang yang baik untuk menempa kemampuan anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, dengan asumsi usia 0–6 tahun adalah usia emas (golden age) –– saat otak anak berkembang sangat cepat dan sedang peka-pekanya menerima rangsangan –– siswa PAUD, yang berusia rata-rata 3–6 tahun, tidak jarang dipacu oleh guru (dengan dukungan orang tua) untuk secepatnya mampu membaca, menulis, dan berhitung.
Hasrat tak terbendung guru dan orang tua untuk segera menyaksikan anak terampil membaca, menulis, dan berhitung juga dipengaruhi kebanggaan dan kesuksesan semu. Tak sedikit guru dan orang tua merasa bangga dan sukses jika sebelum masuk SD, anak sudah pintar membaca, menulis, dan berhitung. Ditambah untuk melanjutkan pendidikan ke SD anak umumnya disyaratkan mampu lulus tes membaca, menulis, dan berhitung, maka para orang tua dan guru PAUD pun kian yakin bahwa tuntutan anak usia dini untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung  memang tidak salah. SD negeri maupun swasta, termasuk yang favorit, elite, dan mahal, dalam penerimaan siswa baru umumnya memang memberlakukan tes membaca, menulis, dan berhitung –– sebuah kekeliruan lain yang memperburuk keadaan.
·          Berbahaya
Hal paling prinsip dan mendasar dalam PAUD adalah proses belajar-mengajar dilakukan dengan menekankan kegiatan pokok ‘bermain’, bukan ‘belajar’. Pendidikan memang hakikatnya kegiatan belajar, tetapi untuk PAUD, belajar harus dilakukan dengan ‘menyenangkan’. Aktivitas yang paling menyenangkan bagi anak usia dini  tidak lain adalah bermain sehingga bentuk implementasi pendidikan yang paling tepat untuk mereka adalah ‘bermain sambil belajar’.
Pentingnya kegiatan bermain dalam PAUD didasari oleh faktor perkembangan mental dan kejiwaan anak. Mental dan kejiwaan anak usia dini (0–6 tahun) masih berada pada tahap perkembangan awal yang rapuh dan sangat sensitif. Perkembangan demikian menyebabkan mereka secara naluriah menjadi gemar bermain sehingga pengajaran yang sesuai dengan potensi mereka adalah yang memberi kebebasan mereka untuk melakukan berbagai jenis permainan, bukan menuntut mereka untuk memelajari banyak hal yang memberatkan.
Dengan demikian, mendidik anak usia dini dengan cara mengutamakan kegiatan belajar dan mengabaikan kegiatan bermain bertentangan dengan perkembangan mental dan kejiwaan anak. Karena itu, memacu siswa PG dan TK untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung bukan saja menyalahi fitrah, melainkan juga berbahaya. Inilah yang oleh para pakar pendidikan dan psikologi disebut sebagai blunder yang akan menyebabkan anak mengalami gangguan potensi dan perilaku.
Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk PAUD jelas menyesatkan. Pengajaran model ini adalah bentuk “pemerkosaan” mental dan jiwa yang tidak kondusif bagi perkembangan mental dan jiwa anak. Sudjarwo, mantan Direktur PAUD Ditjen PAUDNI Kemendikbud, menyatakan, pengajaran calistung untuk PAUD menjadi beban akademik yang berbahaya karena dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental serta memicu anak menjadi pemberontak (mental hectic).
·      Kembali ke Fitrah
Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk PAUD sangat terkait dengan persoalan sumber daya manusia. Maraknya pengajaran membaca, menulis, dan berhitung di lembaga PAUD akan sangat menyulitkan upaya menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan kompetitif. Prof. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, menyatakan, orang Indonesia umumnya miskin kreativitas karena otak kanannya mengalami kerusakan akibat saat berusia dini mendapat pendidikan yang salah (dipacu untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung).
Kita tidak mungkin menganggap remeh PAUD. Riset mutakhir menunjukkan, investasi terbesar pendidikan manusia justru berada pada usia dini (0–6 tahun). Dalam sepanjang hidup seorang manusia, usia dini adalah saat paling penting dan menentukan untuk dijadikan sasaran pendidikan bagi pembentukan kompetensi. Menurut Brazelton, ahli perkembangan dan perilaku anak, pengalaman anak pada bulan dan tahun awal kehidupannya amat menentukan kemampuannya dalam menghadapi tantangan hidup serta menunjukkan semangat untuk belajar dan sukses dalam pekerjaannya.
       Dengan peran dan fungsinya yang krusial untuk pembentukan kompetensi dan penciptaan SDM yang unggul pada masa depan, PAUD harus diimplementasikan dengan cara yang benar. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung dalam PAUD harus dihentikan. PAUD wajib dikembalikan pada fitrahnya sebagai pendidikan yang mengutamakan kegiatan bermain dan bukan kegiatan belajar, atau  setidaknya bermain sambil belajar.

No comments:

Post a Comment