Sumber: tribunnews.com |
Peradilan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dilakukan
melalui dua lembaga pengadilan, yakni pengadilan umum (biasa) dan pengadilan
HAM (khusus). Peradilan melalui pengadilan umum dilakukan untuk mengadili kasus
pelanggaran ringan. Adapun peradilan melalui pengadilan HAM dilakukan untuk
mengadili kasus pelanggaran HAM berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang
dimasukkan dalam jenis pelanggaran berat adalah genosida dan kejahatan
kemanusiaan –– di luar keduanya pelanggaran masih dikelompokkan dalam
pelanggaran ringan.
Dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
telah dibentuk pengadilan khusus dengan nama “Pengadilan HAM”. Namun, menurut
ketentuan undang-undang itu, pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili kasus
pelanggaran berat yang terjadi setelah diberlakukannya (disahkan) UU No.
26/2000. Dengan kata lain, pengadilan HAM hanya memiliki wewenang mengadili
kasus-kasus pelanggaran berat yang terjadi setelah tahun 2000. Adapun pelanggaran
berat yang terjadi pada waktu-waktu sebelum
UU No. 26 Tahun 2000 berlaku, peradilannya dilakukan oleh pengadilan HAM
ad hoc, yakni pengadilan khusus HAM yang dibentuk secara sementara.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000
berlaku juga dapat diselesaikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Peradilan atas kasus pelanggaran hak asasi manusia jelas merupakan bagian yang sangat penting.
Melalui peradilan ini upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia akan
banyak ditentukan dan dipertaruhkan. Keberhasilan pengadilan HAM akan
menentukan keberhasilan upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di
negara kita.
Keberhasilan pengadilan HAM sendiri terutama diukur dari kemampuannya
dalam menghasilkan putusan (vonis). Apabila putusan-putusan yang dikeluarkannya
adil dan benar, pengadilan HAM dapat dikatakan berhasil dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya. Jika demikian halnya, maka upaya perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia dapat diharapkan akan mencapai keberhasilan pula.
Pada prinsipnya, peradilan
atas kasus pelanggaran hak asasi manusia harus dapat memberi putusan yang adil
dan benar. Putusan yang adil dan benar di sisi satu akan mampu mengembalikan
serta memulihkan hak-hak korban, sementara di sisi lain akan memberikan sanksi
atau hukuman yang setimpal kepada pelaku pelanggaran. Baik untuk jangka pendek
maupun jangka panjang, putusan pengadilan yang adil dan benar akan memberikan
dampak positif yang tak kecil dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia. Dampak-dampak positif yang akan ditimbulkannya, antara lain, sebagai
berikut.
·
Masyarakat akan makin sadar tentang pentingnya
hak asasi manusia.
·
Masyarakat akan tergerak untuk menghormati dan
menghargai hak asasi sesamanya.
·
Masyarakat akan lebih merasa aman dan terjamin
hak asasinya.
·
Masyarakat makin mempercayai, menghormati, dan
mematuhi hukum.
·
Masyarakat tidak mudah mengalami pelanggaran hak
asasi karena makin kritis, berani, dan proaktif untuk melakukan pengaduan dan
penuntutan.
·
Kalangan yang potensial melakukan pelanggaran
hak asasi manusia akan makin terkontrol perilakunya karena adanya efek jera
(kapok).
·
Kemungkinan atau risiko terjadinya kembali
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia akan banyak berkurang.
Namun, putusan yang adil dan benar dalam peradilan kasus pelanggaran
hak asasi manusia kenyataannya tidak mudah diwujudkan. Selama ini putusan
pengadilan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat justru masih sangat
sering menimbulkan kontroversi dan ketidakpuasan di tengah masyarakat. Bahkan,
hingga saat ini masih banyak pelanggar berat hak asasi manusia pada masa lalu
–– yang umumnya mantan pejabat serta petinggi kepolisian dan militer masa Orde
Baru –– masih bebas berkeliaran tak tersentuh hukum.
Dengan demikian, pembentukan pengadilan HAM dengan tugas mengadili
kasus pelanggaran saja belumlah cukup. Untuk mengoptimalkan dan menjamin
keberhasilan kinerja pengadilan HAM –– yakni yang dapat menghasilkan
putusan-putusan yang adil dan benar –– diperlukan para hakim dengan persyaratan
yang tidak main-main. Para hakim dalam pengadilan HAM harus benar-benar
menguasai dan berpengalaman dalam persoalan hak asasi manusia, profesional,
bermoral tinggi, bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), serta
memiliki kepedulian dan pengabdian yang tinggi terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Satu hal lagi, mereka juga harus mampu bekerja dan memberi putusan
dengan dasar keadilan dan kebenaran yang setinggi-tingginya.
No comments:
Post a Comment