Monday, October 1, 2018

Peradilan Hak Asasi Manusia Internasional


     
Sumber: static.rightlog.in
Keberadaan peraturan hukum (instrumen) hak asasi manusia internasional dipandang penting sebagai bagian dari upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di tingkat internasional. Akan tetapi, peraturan hukum saja dianggap belum cukup memadai untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pelanggaran berat. Peraturan hukum internasional hak asasi manusia masih memerlukan hadirnya perangkat lain sebagai pendukung, yakni lembaga pengadilan hak asasi manusia internasional.

    Lembaga pengadilan hak asasi manusia internasional dibentuk untuk melakukan peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di tingkat internasional. Pengadilan hak asasi manusia internasional memiliki tugas dan wewenang mengadili para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia yang tidak atau luput diadili di pengadilan nasional negaranya. Pengadilan hak asasi manusia internasional dibentuk dalam dua format, yakni pengadilan ad hoc  dan pengadilan permanen.

·          Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional Ad Hoc 
    Pengadilan hak asasi manusia internasional  ad hoc  dibentuk melalui dua cara, yakni, pertama, dibentuk melalui perjanjian atau kesepakatan internasional dan, kedua, dibentuk melalui resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Pembentukan pengadilan hak asasi manusia internasional  ad hoc  melalui perjanjian internasional, misalnya, dilakukan pada masa seusai Perang Dunia II. Pada saat itu dibentuk badan peradilan dengan nama International Military Tribunal (IMT). Badan peradilan ini berkedudukan di dua kota, yaitu Tokyo (Jepang) dan Nuremburg (Jerman), serta bertugas mengadili para tokoh militer Jepang dan Jerman yang didakwa melakukan kejahatan perang dan pelanggaran berat hak asasi manusia pada masa-masa menjelang dan selama Perang Dunia II.
     Adapun pembentukan pengadilan hak asasi manusia internasional ad hoc  melalui resolusi Dewan Keamanan PBB pernah dilakukan untuk mengadili kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di bekas negara Yugoslavia dan Rwanda. Untuk kasus Yugoslavia dibentuk badan peradilan International Criminal Tribunal for Yugoslavia  dan untuk kasus Rwanda dibentuk International Criminal Tribunal for Rwanda. Pembentukan pengadilan hak asasi manusia internasional ad hoc melalui resolusi Dewan Keamanan PBB tidak mudah dilakukan. Hal ini karena untuk keperluan tersebut dibutuhkan tiga persyaratan seperti berikut.
·        Kejahatan atau kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang akan diadili terjadi dalam suatu konflik yang berlarut-larut atau berkepanjangan.
·        Kejahatan atau kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi dapat mengancam perdamaian internasional atau regional.
·        Pemerintah negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan atau pelanggaran berat hak asasi manusia tidak berdaya atau tidak sanggup melakukan proses peradilan yang objektif.

·         Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional Permanen
    Pengadilan hak asasi manusia internasional permanen adalah pengadilan hak asasi manusia yang dibentuk secara tetap untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia. Badan peradilan internasional permanen ini dibentuk dengan nama International Criminal Court  (ICC) atau Mahkamah Internasional (ada yang menyebutnya Mahkamah Pidana Internasional atau Mahkamah Kejahatan Internasional). Mahkamah ini dibentuk dan disahkan melalui kesepakatan Statuta Roma pada tanggal 17 Juli 1998.
    Mahkamah Internasional beranggotakan 18 orang hakim. Mahkamah ini bermarkas di Hague, Belanda. Tugas dan wewenangnya adalah mengadili para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dalam bentuk kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan agresi (crime of aggression), kejahatan perang (crime of war), dan kejahatan genosida (crime of genocide).
    Pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia yang pernah diadili melalui Mahkamah Internasional, antara lain, Slobodan Milosevic (mantan perdana menteri Yugoslavia) dan Radovan Karadzic (mantan presiden Serbia). Kedua orang ini didakwa telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia dalam bentuk genosida atau pemusnahan etnik (ethnic cleansing) terhadap kaum muslim Bosnia-Herzegovina. Akibat kebijakan dan perbuatan kedua orang ini –– ditambah sepak terjang Ratko Mladic (panglima angkatan bersenjata Serbia) –– ribuan masyarakat muslim Bosnia-Herzegovina meninggal dunia atau hilang tak diketahui nasibnya.

No comments:

Post a Comment