Sistem ekonomi yang berlaku luas
secara internasional pada era global tidak lain adalah perdagangan
bebas (free trade). Sitem ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan
para pemimpin negara-negara di dunia pada tahun 1990-an, kemudian sejak akhir
tahun 1990-an mulai diberlakukan secara terbatas di beberapa kawasan dunia. Dan
sekarang, saat kehidupan masyarakat internasional memasuki abad ke-21, sistem
perdagangan bebas sudah diberlakukan secara luas di berbagai belahan dunia.
Diberlakukannya
sistem perdagangan bebas dapat dikatakan adalah cermin kemenangan kapitalisme
atau liberalisme dalam perekonomian internasional. Sistem perdagangan
bebas mirip dengan sistem kapitalisme, yakni sistem yang menekankan berlakunya
persaingan bebas tanpa diikat banyak peraturan dalam bentuk pajak dan
persyaratan administrasi lainnya. Sistem ini mengharuskan setiap negara dan
para pelaku perdagangan benar-benar siap dalam menghadapi persaingan. Mereka
dituntut dapat menghasilkan komoditas (barang atau jasa) berkualitas tinggi
sehingga akan mampu bersaing dengan baik (kompetitif).
Secara kompetisi
atau dilihat dari segi persaingan, sistem perdagangan bebas sebenarnya memiliki
sifat positif karena memacu setiap pelaku bisnis dan negara untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi.
Melalui perdagangan bebas, setiap negara dan pelaku bisnis diingatkan untuk
memperbaiki keterampilan atau kecakapan dalam membuat produk. Akan tetapi, dari
segi keadilan bisnis, perdagangan
bebas dianggap kurang peduli terhadap nasib negara dan pelaku bisnis miskin dan
terbelakang yang belum memiliki kemampuan bersaing secara bebas. Di satu sisi, perdagangan
bebas dianggap lebih mengutamakan kepentingan negara dan pelaku bisnis besar
dan kuat yang sudah mempunyai kemampuan bersaing yang tinggi, tetapi di sisi
lain dipandang kurang memperhatikan kepentingan negara dan pelaku bisnis kecil
dan lemah yang baru belajar melakukan persaingan secara bebas.
Oleh sebab itu,
sistem perdagangan
bebas seringkali dikritik dan dianggap tidak adil. Oleh beberapa kalangan,
sistem ini diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan baru dalam
perekonomian dunia. Negara dan pelaku bisnis yang besar dan kuat akan kian
berjaya, sementara negara dan pelaku bisnis yang kecil dan lemah akan makin
terpuruk. Bahkan, sistem perdagangan
bebas dianggap dan dikhawatirkan akan melahirkan penjajahan gaya baru
(neokolonialisme) oleh negara dan pelaku bisnis yang besar dan kuat terhadap
negara dan pelaku bisnis yang kecil dan lemah.
Sebagai negara yang
turut terlibat dalam perdagangan
bebas, Indonesia
tentu akan ikut terkena akibat-akibat yang mungkin timbul dari sistem ini. Cepat
atau lambat, langsung atau tidak langsung, Indonesia
akan ikut terkena dampak-dampaknya. Dalam beberapa tahun terakhir ini saja,
misalnya, akibat berlakunya sistem perdagangan
bebas, pasar barang dan jasa di negara kita banyak dibanjiri produk impor dari
berbagai negara lain. Hal ini menyebabkan terdesaknya produk-produk barang dan
jasa dari dalam negeri.
Ekspor dan impor (Sumber: http://ideusahabisnis.com) |
Akan tetapi, terhadap keadaan itu kita harus tetap tegar dan percaya diri akan masa depan produksi (barang dan jasa) dalam negeri. Kekhawatiran yang sempat muncul mengenai kelangsungan hidup dunia usaha di dalam negeri akibat berlakunya sistem perdagangan bebas, sebaiknya tidak dibesar-besarkan hingga berkembang menjadi kepanikan yang dapat menyebabkan terjadinya kemelut dan krisis. Kekhawatiran harus diredam dengan sikap tenang dan pikiran positif bahwa dalam menghasilkan produk kita sesungguhnya memiliki kemampuan bersaing yang cukup baik.
Hal yang dapat kita
jadikan pegangan adalah fakta bahwa terutama barang-barang produksi Indonesia
cukup laku dan diminati di pasar internasional. Selama ini, kita dapat
mengekspor ke banyak negara berbagai jenis barang –– baik dalam bentuk bahan
mentah maupun barang jadi –– seperti minyak mentah, gas alam, batu bara, timah,
tekstil, garmen, mebel, kelapa sawit, karet, kayu lapis, kopi, dan ikan. Hal ini
menunjukkan bahwa barang-barang produksi Indonesia
sesungguhnya mampu bersaing dengan barang produksi negara-negara lain.
Anggapan bahwa
barang dan jasa produk Indonesia
kurang berkualitas sebenarnya lebih merupakan anggapan yang dihinggapi
“penyakit” inferior dan rendah diri. Anggapan ini dapat dikatakan sebagai ironi
yang memprihatinkan sebab justru muncul dari kalangan masyarakat kita sendiri
dan tidak dari kalangan internasional. Beberapa kalangan di negara kita gemar
menggunakan barang dan jasa produksi luar negeri karena menganggap barang dan
jasa produksi Indonesia
tidak berkualitas, padahal faktanya barang dan jasa produksi Indonesia
dibeli dan digunakan oleh masyarakat dari berbagai negara di dunia.
Oleh
sebab itu, terkait dengan berlakunya sistem perdagangan
bebas, kiranya kita harus berpikir dan mengkaji ulang mengenai keberadaan
barang dan jasa produksi kita sendiri. Kegemaran menggunakan barang dan jasa produksi
luar negeri dalam banyak kasus sebenarnya lebih merupakan sikap snobis yang
harus ditinggalkan. Untuk menyelamatkan barang dan jasa produksi kita sendiri
sekaligus menjaga kemampuan bersaing dalam perdagangan bebas serta menunjukkan
kecintaan terhadap bangsa dan negara, kita harus senantiasa lebih memilih
memakai barang dan jasa produksi dalam negeri daripada produksi luar negari.
Kita harus sadar serta bersikap percaya diri
dan realistis bahwa barang dan jasa produksi Indonesia
yang kita pakai sebenarnya menunjukkan kelayakan untuk dikonsumsi karena memang
memiliki kualitas yang memadai (karena di luar negeri pun banyak digunakan oleh
warga asing).
No comments:
Post a Comment