Sumber: cdn1-a.production.images.static6.com |
Setya Novanto beberapa kali sempat tersangkut masalah etika dan hukum, tetapi selalu berhasil lolos dari sanksi dan hukuman. Ia lolos dari kasus “Papa Minta Saham” yang menghebohkan beberapa waktu lalu. Pada bulan Juli 2017 ia ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP), tetapi berhasil lepas dari jerat hukum karena gugatan praperadilannya dimenangkan oleh pengadilan.
Memasuki bulan November, kembali Novanto
ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka untuk kasus yang sama (korupsi KTP elektronik).
Setelah beberapa kali menolak (mangkir) dari panggilan KPK, Novanto mendapat jemputan
paksa dari KPK di rumahnya. Namun, saat penyidik KPK datang, ia tidak berada di
rumah sehingga dinyatakan masuk dalam DPO (daftar pencarian orang). Beberapa
jam kemudian Novanto ditemukan sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah mendatangkan dokter independen untuk
mengetahui dan memastikan kondisi Novanto, KPK akhirnya memutuskan untuk
menahan dan memindahkan Novanto secara paksa ke rumah tahanan milik KPK.
Ditahannya Setya Novanto oleh KPK
menjadikan kasus korupsi e-KTP dengan tersangka dirinya memasuki babak baru.
Kendatipun untuk kali ini ia juga kembali mengajukan gugatan praperadilan, penahanan
KPK terhadap dirinya merupakan langkah atau proses baru yang sebelumnya tidak
dilakukan. Keberanian dan ketegasan KPK untuk menahan Setya Novanto – yang
merupakan ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar – adalah kejutan yang melegakan
masyarakat Indonesia. Proses hukum atas dirinya tengah dan akan berlangsung: kini ia meringkuk di tahanan KPK sambil menunggu
proses gugatan praperadilannya akan mulai disidangkan pada tanggal 30 November.
Penahanan Setya Novanto oleh KPK juga
membuka babak baru mengenai pandangan dan persepsi publik terhadap DPR dan
Partai Golkar. Tidak dapat dihindarkan lagi, karena Setya Novanto merupakan
ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar, penahanan dan sangkaan (terlibat korupsi
KTP elektronik) terhadapnya sangat mempengaruhi penilaian publik terhadap kedua
institusi tersebut. Dengan pertimbangan
etika dan kepatutan, publik umumnya menganggap bahwa penetapan tersangka dan
penahanan Setya Novanto oleh KPK menyebabkan kedua lembaga yang dipimpinnya
(DPR dan Partai Golkar) ikut tercoreng.
Oleh sebab itu, publik banyak yang
menghendaki agar Novanto segera mundur dari jabatan ketua DPR, sementara kader dan
simpatisan Partai Golkar juga tidak sedikit yang meminta Novanto untuk
mengundurkan diri dari posisi ketua umum partai berlambang pohon beringin ini.
Hal itu sebenarnya sudah mengemuka sejak bulan Juli-September lalu ketika Setya
Novanto untuk kali yang pertama ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dan
keinginan tersebut tampaknya mencuat kian kuat saat untuk kali yang kedua ia
kembali ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus yang sama yang disertai dengan
penahanan atas dirinya oleh KPK .
Secara hukum, Setya Novanto memang belum
dinyatakan bersalah (melakukan korupsi) karena proses hukum atas dirinya tengah
berjalan serta belum selesai (final) dan berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Itulah sebabnya, ia masih berhak mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan asas
praduga tak bersalah (presumption
innocence). Ia tengah dan akan menjalani proses peradilan untuk membuktikan
apakah ia bersalah atau tidak bersalah (dalam kasus korupsi pengadaan KTP
elektronik).
Akan tetapi, lain proses hukum lain pula
dinamika persepsi publik terhadap lembaga perwakilan rakyat dan partai politik.
Terhadap DPR dan partai politik (dalam hal ini Partai Golkar), publik tidak
akan memberikan pandangan dan penilaiannya semata-mata dari kacamata hukum jika
pemimpinnya tersangkut kasus hukum dan berurusan dengan lembaga sekredibel KPK,
betapapun kesalahannya belum terbukti. Selain dari perspektif hukum, publik terutama akan memberikan pendangan dan
penilaiannya dari perspektif etika dan kepatutan. Bagaimanapun juga, kendatipun
secara hukum belum terbukti bersalah, seorang ketua DPR dan ketua umum partai
politik yang dinyatakan menjadi tersangka dan ditahan, di mata publik serta
kader dan simpatisan partainya secara etika dan kepatutan umumnya dianggap telah
mendapat “aib” karena telah menurunkan citra atau nama baik lembaga yang dipimpinnya sehingga perlu diminta
untuk mengundurkan diri baik secara tetap maupun sementara.
Kini, keputusan pengunduran diri Novanto
atau pemberhentian dirinya dari jabatan ketua DPR dan ketua umum Golkar lebih
banyak tergantung pada Novanto sendiri serta para pemimpin baik di tubuh DPR
maupun Partai Golkar. Kemungkinan besar yang
akan terjadi, keputusannya akan diambil dengan lebih mempertimbangkan dimensi
atau aspek politik daripada aspek lainnya. Namun, jika para politisi Senayan
(DPR) dan Partai Golkar memiliki logika dan pertimbangan sendiri, publik pun
juga memiliki logika dan pertimbangannya sendiri. Hasil pengambilan keputusan
publik berdasarkan logika dan pertimbangan mereka sendiri akan dapat kita
saksikan pada Pilkada (pemilihan kepala daerah) 2018 serta pemilu legislatif
2019 mendatang.
No comments:
Post a Comment