Saturday, November 25, 2017

Kasus Setya Novanto serta Persepsi Publik terhadap DPR dan Partai Golkar

Sumber: cdn1-a.production.images.static6.com

     Setya Novanto beberapa kali sempat tersangkut masalah etika dan hukum, tetapi selalu berhasil lolos dari sanksi dan hukuman. Ia lolos dari kasus “Papa Minta Saham” yang menghebohkan beberapa waktu lalu. Pada bulan Juli 2017 ia ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP), tetapi berhasil lepas dari jerat hukum karena gugatan praperadilannya dimenangkan oleh pengadilan.
Memasuki bulan November, kembali Novanto ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka untuk kasus yang sama (korupsi KTP elektronik). Setelah beberapa kali menolak (mangkir) dari panggilan KPK, Novanto mendapat jemputan paksa dari KPK di rumahnya. Namun, saat penyidik KPK datang, ia tidak berada di rumah sehingga dinyatakan masuk dalam DPO (daftar pencarian orang). Beberapa jam kemudian Novanto ditemukan sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.  Setelah mendatangkan dokter independen untuk mengetahui dan memastikan kondisi Novanto, KPK akhirnya memutuskan untuk menahan dan memindahkan Novanto secara paksa ke rumah tahanan milik KPK.
Ditahannya Setya Novanto oleh KPK menjadikan kasus korupsi e-KTP dengan tersangka dirinya memasuki babak baru. Kendatipun untuk kali ini ia juga kembali mengajukan gugatan praperadilan, penahanan KPK terhadap dirinya merupakan langkah atau proses baru yang sebelumnya tidak dilakukan. Keberanian dan ketegasan KPK untuk menahan Setya Novanto  yang merupakan ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar  – adalah kejutan yang melegakan masyarakat Indonesia. Proses hukum atas dirinya tengah dan akan berlangsung:  kini ia meringkuk di tahanan KPK sambil menunggu proses gugatan praperadilannya akan mulai disidangkan pada tanggal 30 November.
Penahanan Setya Novanto oleh KPK juga membuka babak baru mengenai pandangan dan persepsi publik terhadap DPR dan Partai Golkar. Tidak dapat dihindarkan lagi, karena Setya Novanto merupakan ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar, penahanan dan sangkaan (terlibat korupsi KTP elektronik) terhadapnya sangat mempengaruhi penilaian publik terhadap kedua institusi tersebut.  Dengan pertimbangan etika dan kepatutan, publik umumnya menganggap bahwa penetapan tersangka dan penahanan Setya Novanto oleh KPK menyebabkan kedua lembaga yang dipimpinnya (DPR dan Partai Golkar) ikut tercoreng.
Oleh sebab itu, publik banyak yang menghendaki agar Novanto segera mundur dari jabatan ketua DPR, sementara kader dan simpatisan Partai Golkar juga tidak sedikit yang meminta Novanto untuk mengundurkan diri dari posisi ketua umum partai berlambang pohon beringin ini. Hal itu sebenarnya sudah mengemuka sejak bulan Juli-September lalu ketika Setya Novanto untuk kali yang pertama ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dan keinginan tersebut tampaknya mencuat kian kuat saat untuk kali yang kedua ia kembali ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus yang sama yang disertai dengan penahanan atas dirinya oleh KPK .
Secara hukum, Setya Novanto memang belum dinyatakan bersalah (melakukan korupsi) karena proses hukum atas dirinya tengah berjalan serta belum selesai (final) dan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Itulah sebabnya, ia masih berhak mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption innocence). Ia tengah dan akan menjalani proses peradilan untuk membuktikan apakah ia bersalah atau tidak bersalah (dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik).
Akan tetapi, lain proses hukum lain pula dinamika persepsi publik terhadap lembaga perwakilan rakyat dan partai politik. Terhadap DPR dan partai politik (dalam hal ini Partai Golkar), publik tidak akan memberikan pandangan dan penilaiannya semata-mata dari kacamata hukum jika pemimpinnya tersangkut kasus hukum dan berurusan dengan lembaga sekredibel KPK, betapapun kesalahannya belum terbukti. Selain dari perspektif hukum, publik  terutama akan memberikan pendangan dan penilaiannya dari perspektif etika dan kepatutan. Bagaimanapun juga, kendatipun secara hukum belum terbukti bersalah, seorang ketua DPR dan ketua umum partai politik yang dinyatakan menjadi tersangka dan ditahan, di mata publik serta kader dan simpatisan partainya secara etika dan kepatutan umumnya dianggap telah mendapat “aib” karena telah menurunkan citra atau nama baik  lembaga yang dipimpinnya sehingga perlu diminta untuk mengundurkan diri baik secara tetap maupun sementara.
Kini, keputusan pengunduran diri Novanto atau pemberhentian dirinya dari jabatan ketua DPR dan ketua umum Golkar lebih banyak tergantung pada Novanto sendiri serta para pemimpin baik di tubuh DPR maupun Partai Golkar.  Kemungkinan besar yang akan terjadi, keputusannya akan diambil dengan lebih mempertimbangkan dimensi atau aspek politik daripada aspek lainnya. Namun, jika para politisi Senayan (DPR) dan Partai Golkar memiliki logika dan pertimbangan sendiri, publik pun juga memiliki logika dan pertimbangannya sendiri. Hasil pengambilan keputusan publik berdasarkan logika dan pertimbangan mereka sendiri akan dapat kita saksikan pada Pilkada (pemilihan kepala daerah) 2018 serta pemilu legislatif 2019 mendatang. 

No comments:

Post a Comment