Oleh
Akhmad Zamroni
Presiden AS, Donald Trump, memeriksa grafik pandemo Covid-19 di berbagai negara (Sumber: AFP) |
NEGARA adidaya (superpower) merupakan negara yang mempunyai
kekuasaan dan pengaruh paling kuat dalam percaturan politik internasional.
Negara adidaya memiliki kemampuan yang sangat besar dalam mempengaruhi negara-negara
lain dan mengendalikan organisasi-organisasi internasional. Besarnya pengaruh
dan kendali negara adidaya umumnya dikarenakan mereka menjadi kontributor dana
terbesar bagi negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional serta memiliki
kekuatan militer tidak tertandingi (terutama dari segi teknologi dan kuantitas senjata)
yang sewaktu-waktu dapat mereka gunakan untuk menginvasi negara tertentu
melalui keputusan sepihak.
Dengan kekuatan dan pengaruhnya
yang sangat besar, negara adidaya seringkali mempelihatkan sikap jumawa dan seenaknya
mengkooptasi atau bahkan menyerang negara lain, tak peduli ribuan nyawa manusia
melayang serta infrastruktur di negara sasaran hancur lebur. Ibarat raksasa
lapar yang gila dan bengis, mereka merasa bebas melakukan apa saja untuk
mewujudkan ambisi dan memperjuangkan kepentingannya.
Dalam sejarah perpolitikan
global ada beberapa negara adidaya yang sepak terjangnya memicu peperangan
serta menimbulkan penindasan dan penderitaan pada banyak bangsa/negara lain. Pada
era kuno ada Persia, Makedonia,Romawi, dan Mongolia. Pada era modern, antara
lain, tercatat nama Prancis, Britania Raya, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.
Negara adidaya muncul silih
berganti dalam pergaulan internasional. Sejarah kehidupan bangsa-bangsa dan
negara-negara di dunia yang telah berlangsung ribuan tahun menunjukkan, belum
pernah ada satu pun bangsa/negara adidaya yang terus-menerus bertahan menjadi kekuatan
hegemonial yang tak tergantikan. Persia yang perkasa dapat ditumbangkan dan
digantikan oleh Makedonia, sementara nama terakhir ini kemudian dipecundangi dan
digeser oleh Romawi. Prancis dan Britania Raya pada abad modern juga di-lengser-kan oleh Uni Soviet dan Amerika
Serikat.
Uni Soviet dan Amerika Serikat pula
yang, kelihatannya, untuk kali pertama dalam sejarah menjadi dua negara adidaya
yang muncul secara bersamaan dan bersaing sama kuat. Seusai Perang Dunia II
tahun 1945, keduanya tumbuh menjadi adidaya baru. Selama Perang Dunia II
keduanya berada di kubu yang sama (Sekutu), tetapi setelah berakhirnya perang
yang menelan korban 50-70 juta jiwa itu keduanya berbalik saling bermusuhan.
Perang Dunia II (Sumber: Bundesarchiv-Wikipedia).jpg |
Mereka tidak lagi berkawan
akibat berbeda ideologi. Amerika menganut liberalisme/kapitalisme, adapun
Soviet berhaluan komunisme/marxisme. Keduanya memiliki negara-negara pengikut
serta membentuk pakta militer: Amerika bersama sekutunya (Inggris, Prancis,
Italia, Kanada, Jerman Barat, dan sebagainya) membentuk NATO, sedangkan Soviet
bersama sekutunya (Polandia, Jerman Timur, Rumania, Hungaria, dan sebagainya)
mendirikan Pakta Warsawa.
Selama sekitar setengah abad,
kedua kubu saling bidik, memata-matai, bersitegang, dan berebut pengaruh hampir
tanpa henti. Keduanya saling mengarahkan ribuan rudal nuklirnya ke kubu lawan dengan
keadaan siap tembak. Hal ini memicu lahirnya ketegangan tingkat tinggi yang
kemudian populer disebut sebagai “Perang Dingin”.
Perang Dingin
menyebabkan penduduk bumi dihantui kekhawatiran akan terjadinya Perang Dunia
III yang sangat mengerikan. Jika Perang Dingin menjelma menjadi perang terbuka
yang menggunakan senjata nuklir, diramalkan akan terjadi “kiamat”, tidak akan
ada pemenang perang (karena kedua kubu sama-sama hancur), serta seluruh atau
sebagian besar negara di dunia akan turut binasa. Rudal-rudal nuklir yang ditembakkan
oleh kedua kubu akan membuat kehancuran yang sangat luas di muka bumi karena
pelor-pelor raksasa canggih itu memiliki jarak tembak hingga 10.000-12.000 km
serta berdaya ledak hingga 70 megaton TNT (bandingkan dengan bom atom yang
dijatuhkan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki yang “hanya” berkekuatan 20 kiloton
TNT).
Rudal Pershing II milik AS (Sumber: https://www.jejaktapak.com) |
Namun, malang dapat
ditolak dan untung dapat diraih, Perang Dingin akhirnya hanya sekadar wacana
kekhawatiran yang tidak berujung menjadi Perang Dunia III. Alih-alih terjadi
“kiamat” akibat bombardemen senjata nuklir, sebutir peluru pun tidak pernah
ditembakkan secara langsung dalam pertempuran
head to head kedua kubu. Keduanya memang sempat terlibat
dalam perang Vietnam, perang Iran-Irak, dan konflik di Afghanistan, tetapi
mereka tidak pernah beradu secara langsung face
to face.
Barangkali karena
sama-sama merasa ngeri dengan dampak ledakan senjata nuklir yang
akan membuat keduanya hancur dan punah dari muka bumi, sementara mereka masih
ingin terus menjadi superpower dan penguasa dunia, mereka akhirnya mampu
menahan diri untuk membuat provokasi yang dapat memicu pecahnya perang terbuka.
Ratusan kali atau bahkan ribuan kali terjadi psy war dan perang
kata-kata, tetapi setiap kali itu pula ketegangan dapat mereda dan berakhir
tanpa letusan senjata.
Dan syahdan, di
tengah tak kunjung terjadinya perang, tanpa tembakan pistol apalagi rudal
nuklir, Uni Soviet malah dengan cepat dan tragis mengalami kehancuran dan pembubaran
pada tahun 1991. Program pembaruan glasnost
dan perestroika
yang dicanangkan Presiden Uni Soviet
ketika itu, Mikhael Gorbachev, membuat partai komunis di Uni Soviet dan seluruh
Eropa Timur hancur dan bangkrut. Hal ini menyebabkan Uni Soviet yang ditopang
sistem politik partai tunggal yang totaliter (di bawah partai komunis) menjadi
goyah serta kemudian ambyar dan bubar.
Bangsa
dan pemerintah Amerika Serikat pun bersorak gembira karena praktis setelah tewasnya
si Beruang Merah (julukan bagi Uni Soviet) mereka menjelma menjadi satu-satunya
negara adidaya di dunia. Rusia, sebagai satu-satunya sisa kehancuran Uni Soviet
yang masih terhitung lumayan kuat, tak mampu lagi menandingi kekuatan dan
pengaruh Amerika Serikat. Maka, si Paman Sam (julukan bagi Amerika Serikat)
melenggang sendirian menjadi penguasa dan polisi dunia.
***
HAMPIR tidak ada yang
memperkirakan, Uni Soviet yang begitu kuat dan sangar, runtuh dan lenyap dari peta dunia dalam waktu relatif
singkat hanya oleh program pembaruan damai yang digulirkan oleh presidennya
sendiri yang flamboyan, murah senyum, cinta damai,
dan humanis. Tanpa polemik berkepanjangan, adu otot, dan apalagi adu tembak,
melainkan melalui kampanye yang ramah dan bersahabat, si Beruang Merah
sempoyongan, jatuh, dan mati.
Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev (Sumber: Boris Yurchenko-AP Images) |
Dunia kemudian
hanya mengenal satu adidaya: Amerika. Dengan statusnya sebagai adidaya tunggal,
Amerika menjadi makin arogan, represif, dan semau
gue terhadap negara-negara lain dan
lembaga-lembaga internasional. Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang
menjadi senjata propagandanya, seringkali mereka acak-acak sendiri saat mereka
tak mampu menahan diri untuk menginvasi negara lain, seperti ketika menyerang
Irak dan Afghanistan.
Kesendirian tanpa
lawan sepadan kerapkali membuat lupa diri untuk memperkuat pertahanan guna mengantisipasi
ancaman dan bahaya yang muncul dalam bentuk baru/lain, bukan lagi ekspansi ideologi
dan senjata berteknologi tinggi. Dan demikianlah, hampir 30 tahun kemudian
(sejak sang Paman Sam menjadi adidaya tunggal), bahaya dan ancaman itu
benar-benar muncul dalam bentuk yang sama sekali berbeda serta sangat sulit
dideteksi: serangan virus Corona (Covid-19).
Seluruh
persenjataan, spionase, dan intelijen yang semuanya serbacanggih dan tak
tertandingi milik Amerika menjadi tiada arti karena tak mampu mendeteksi
serangan Covid-19. Sebagai soft weapon yang mereka agung-agungkan,
liberalisme/kapitalisme pun tak berarti apa-apa untuk menangkal Covid-19. Sang
presiden, Donald Trump, yang sempat menganggapnya remeh dan lelucon, akhirnya
mengakui, serangan Covid-19 ke negerinya sebagai hal yang mengerikan.
Jenazah warga AS korban Covid-19 diletakkan tak beraturan di sebuah rumah sakit (Sumber: Metro) |
Serangan Covid-19 ke
Amerika berlangsung begitu cepat dan mematikan. Pada Maret lalu, saat banyak
negara lain mulai kewalahan mengatasi serangan sang virus, Trump bersama
rakyatnya masih terlihat tenang-tenang saja karena serangan virus ini ke negeri
mereka belum menunjukkan gejala yang mencemaskan. Namun, begitu memasuki
pertengahan April, mereka mulai gelisah serta di penghujung bulan yang sama (29
April 2020) rasa sesal dan ngeri mereka pecah dan tumpah: dalam beberapa pekan
saja, lebih dari satu juta warga Amerika terinfeksi Covid-19 dan lebih dari 50
ribu di antaranya meninggal.
Dan memasuki bulan
Mei-Juli, pecahlah fenomena horor: Amerika menjadi negara dengan jumlah korban
Covid-19 terbesar di dunia. Sampai dengan 3 Juli 2020 (saat artikel ini ditulis),
jumlah warga AS yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 2.837.189
orang dan yang meninggal 131.485 orang (data worldometers.info).
Angka itu sangat jauh melampaui
jumlah korban di negara-negara lain yang sebelumnya menjadi episentrum awal pandemi
Covid-19, seperti Tiongkok, Italia, dan Iran. Angka statistik AS itu juga masih jauh
melewati jumlah korban di negara-negara episentrum baru yang kini
menduduki peringkat atas, seperti Brasil (peringkat kedua: 1.501.353
terinfeksi; 61.990 meninggal), Rusia (peringkat ketiga: 667.883 terinfeksi; 9.859
meninggal), India (peringkat keempat: 628.205 terinfeksi; 18.241 meninggal),
dan Spanyol (peringkat kelima: 297.183 terinfeksi; 28.368 meninggal).
Serangan Covid-19 serta-merta
membangkitkan memori bangsa Amerika akan jumlah korban perang atau peristiwa
tragis yang pernah mereka alami. Mereka tak menyangka, Covid-19 ternyata jauh
lebih ganas dan mematikan dibandingkan serangan komunisme, terorisme, dan
bahkan senjata berteknologi tinggi. Lihat saja: serangan Covid-19 dalam
beberapa pekan menyebabkan korban tewas 102.107 orang, sedangkan
serangan teroris di WTC hanya menelan 2.996 korban jiwa, serangan Jepang
terhadap Pearl Harbor hanya membunuh 2.403 prajurit AS, serta Perang Vietnam
yang berlangsung hampir 20 tahun hanya mengakibatkan 58.315 prajurit AS tewas.
Bahkan jika jumlah korban jiwa dari ketiga peristiwa tragis ini ditotal seluruhnya,
angkanya masih jauh di bawah jumlah korban serangan Covid-19!
Demonstrasi warga AS menentang lockdown (Sumber: Antara-Reuters-Lindsey Wasson-TM) |
Keadidayaan Amerika
pun kini mulai dipertanyakan, bukan saja oleh masyarakat internasional, bahkan
juga mungkin oleh warganya sendiri. Keadidayaan Amerika dalam menghadapi
serangan intelijen, terorisme, ideologi, dan senjata dari luar mungkin sudah
teruji dan terbkti, tetapi kemampuannya menghadapi serangan virus mematikan
justru yang paling buruk dan paling lemah di dunia, setidaknya dilihat dari
data (jumlah) korban yang tercatat hingga saat ini.
Tampak cukup jelas,
Amerika kurang siap menghadapi serangan mikroorganisme yang tak terlihat oleh
mata telanjang. Sejak serangan mulai marak ke berbagai negara awal 2020 lalu,
mereka terlalu menganggap remeh dan sepele. Ketika serangan benar-benar menuju
ke negeri mereka, sikap keras dan besar kepala mereka (karena merasa sebagai
negara terkuat) menyebabkan mereka tidak bersikap disiplin dan protektif ––
ketika itu Trump malah melancarkan tuduhan ke negara lain, sementara warganya
beramai-ramai membeli senjata api untuk melindungi diri.
Serangan virus
tidak dapat dilawan dengan senjata militer yang paling canggih dan dahsyat
sekalipun. Jika Amerika masih menghadapinya dengan paradigma perang fisik yang
mengandalkan senjata perangkat keras (hard
weapon), nasibnya mungkin akan sama dengan para adidaya sebelumnya: kalah
dan tergeser. Segala sumber daya yang mereka miliki bisa habis terkuras untuk
mengatasinya, itupun jika jutaan warganya tidak tewas lebih dahulu terinfeksi
Covid-19 –– ingat, pandemi virus influenza (flu spanyol) tahun 1917/1918
menelan korban jiwa hingga 50 juta penduduk bumi.
Pengalaman Uni Soviet pada era modern menunjukkan, runtuhnya
keadidayaan tidak selalu disebabkan oleh invasi militer dan serangan senjata.
Dan Amerika yang sejauh ini masih mengandalkan dan membangga-banggakan militer dan
senjatanya, serta tak kunjung belajar dari kasus Uni Soviet, bukan tak mungkin mereka
akan “mewarisi” nasib tragis mantan seterunya.
No comments:
Post a Comment