Saturday, July 4, 2020

Senjakala Adidaya dan Balada Amerika Menghadapi Serangan Virus Corona


Oleh Akhmad Zamroni

Presiden AS, Donald Trump, memeriksa grafik pandemo Covid-19 di berbagai negara (Sumber: AFP) 

NEGARA adidaya (superpower) merupakan negara yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh paling kuat dalam percaturan politik internasional. Negara adidaya memiliki kemampuan yang sangat besar dalam mempengaruhi negara-negara lain dan mengendalikan organisasi-organisasi internasional. Besarnya pengaruh dan kendali negara adidaya umumnya dikarenakan mereka menjadi kontributor dana terbesar bagi negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional serta memiliki kekuatan militer tidak tertandingi (terutama dari segi teknologi dan kuantitas senjata) yang sewaktu-waktu dapat mereka gunakan untuk menginvasi negara tertentu melalui keputusan sepihak.

Dengan kekuatan dan pengaruhnya yang sangat besar, negara adidaya seringkali mempelihatkan sikap jumawa dan seenaknya mengkooptasi atau bahkan menyerang negara lain, tak peduli ribuan nyawa manusia melayang serta infrastruktur di negara sasaran hancur lebur. Ibarat raksasa lapar yang gila dan bengis, mereka merasa bebas melakukan apa saja untuk mewujudkan ambisi dan memperjuangkan kepentingannya.

Dalam sejarah perpolitikan global ada beberapa negara adidaya yang sepak terjangnya memicu peperangan serta menimbulkan penindasan dan penderitaan pada banyak bangsa/negara lain. Pada era kuno ada Persia, Makedonia,Romawi, dan Mongolia. Pada era modern, antara lain, tercatat nama Prancis, Britania Raya, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.

Negara adidaya muncul silih berganti dalam pergaulan internasional. Sejarah kehidupan bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia yang telah berlangsung ribuan tahun menunjukkan, belum pernah ada satu pun bangsa/negara adidaya yang terus-menerus bertahan menjadi kekuatan hegemonial yang tak tergantikan. Persia yang perkasa dapat ditumbangkan dan digantikan oleh Makedonia, sementara nama terakhir ini kemudian dipecundangi dan digeser oleh Romawi. Prancis dan Britania Raya pada abad modern juga di-lengser-kan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Uni Soviet dan Amerika Serikat pula yang, kelihatannya, untuk kali pertama dalam sejarah menjadi dua negara adidaya yang muncul secara bersamaan dan bersaing sama kuat. Seusai Perang Dunia II tahun 1945, keduanya tumbuh menjadi adidaya baru. Selama Perang Dunia II keduanya berada di kubu yang sama (Sekutu), tetapi setelah berakhirnya perang yang menelan korban 50-70 juta jiwa itu keduanya berbalik saling bermusuhan.


Perang Dunia II (Sumber: Bundesarchiv-Wikipedia).jpg

Mereka tidak lagi berkawan akibat berbeda ideologi. Amerika menganut liberalisme/kapitalisme, adapun Soviet berhaluan komunisme/marxisme. Keduanya memiliki negara-negara pengikut serta membentuk pakta militer: Amerika bersama sekutunya (Inggris, Prancis, Italia, Kanada, Jerman Barat, dan sebagainya) membentuk NATO, sedangkan Soviet bersama sekutunya (Polandia, Jerman Timur, Rumania, Hungaria, dan sebagainya) mendirikan Pakta Warsawa.

Selama sekitar setengah abad, kedua kubu saling bidik, memata-matai, bersitegang, dan berebut pengaruh hampir tanpa henti. Keduanya saling mengarahkan ribuan rudal nuklirnya ke kubu lawan dengan keadaan siap tembak. Hal ini memicu lahirnya ketegangan tingkat tinggi yang kemudian populer disebut sebagai “Perang Dingin”.

Perang Dingin menyebabkan penduduk bumi dihantui kekhawatiran akan terjadinya Perang Dunia III yang sangat mengerikan. Jika Perang Dingin menjelma menjadi perang terbuka yang menggunakan senjata nuklir, diramalkan akan terjadi “kiamat”, tidak akan ada pemenang perang (karena kedua kubu sama-sama hancur), serta seluruh atau sebagian besar negara di dunia akan turut binasa. Rudal-rudal nuklir yang ditembakkan oleh kedua kubu akan membuat kehancuran yang sangat luas di muka bumi karena pelor-pelor raksasa canggih itu memiliki jarak tembak hingga 10.000-12.000 km serta berdaya ledak hingga 70 megaton TNT (bandingkan dengan bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki yang “hanya” berkekuatan 20 kiloton TNT).


Rudal Pershing II milik AS (Sumber: https://www.jejaktapak.com) 

Namun, malang dapat ditolak dan untung dapat diraih, Perang Dingin akhirnya hanya sekadar wacana kekhawatiran yang tidak berujung menjadi Perang Dunia III. Alih-alih terjadi “kiamat” akibat bombardemen senjata nuklir, sebutir peluru pun tidak pernah ditembakkan secara langsung dalam pertempuran  head to head  kedua kubu. Keduanya memang sempat terlibat dalam perang Vietnam, perang Iran-Irak, dan konflik di Afghanistan, tetapi mereka tidak pernah beradu secara langsung face to face.

Barangkali karena sama-sama merasa ngeri  dengan dampak ledakan senjata nuklir yang akan membuat keduanya hancur dan punah dari muka bumi, sementara mereka masih ingin terus menjadi superpower  dan penguasa dunia, mereka akhirnya mampu menahan diri untuk membuat provokasi yang dapat memicu pecahnya perang terbuka. Ratusan kali atau bahkan ribuan kali terjadi psy war  dan perang kata-kata, tetapi setiap kali itu pula ketegangan dapat mereda dan berakhir tanpa letusan senjata.

Dan syahdan, di tengah tak kunjung terjadinya perang, tanpa tembakan pistol apalagi rudal nuklir, Uni Soviet malah dengan cepat dan tragis mengalami kehancuran dan pembubaran pada tahun 1991. Program pembaruan glasnost  dan perestroika  yang dicanangkan Presiden Uni Soviet ketika itu, Mikhael Gorbachev, membuat partai komunis di Uni Soviet dan seluruh Eropa Timur hancur dan bangkrut. Hal ini menyebabkan Uni Soviet yang ditopang sistem politik partai tunggal yang totaliter (di bawah partai komunis) menjadi goyah serta kemudian ambyar  dan bubar.

Bangsa dan pemerintah Amerika Serikat pun bersorak gembira karena praktis setelah tewasnya si Beruang Merah (julukan bagi Uni Soviet) mereka menjelma menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia. Rusia, sebagai satu-satunya sisa kehancuran Uni Soviet yang masih terhitung lumayan kuat, tak mampu lagi menandingi kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat. Maka, si Paman Sam (julukan bagi Amerika Serikat) melenggang sendirian menjadi penguasa dan polisi dunia.

***

HAMPIR tidak ada yang memperkirakan, Uni Soviet yang begitu kuat dan sangar, runtuh dan lenyap dari peta dunia dalam waktu relatif singkat hanya oleh program pembaruan damai yang digulirkan oleh presidennya sendiri yang flamboyan, murah senyum, cinta damai, dan humanis. Tanpa polemik berkepanjangan, adu otot, dan apalagi adu tembak, melainkan melalui kampanye yang ramah dan bersahabat, si Beruang Merah sempoyongan, jatuh, dan mati.


Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev (Sumber: Boris Yurchenko-AP Images) 


Dunia kemudian hanya mengenal satu adidaya: Amerika. Dengan statusnya sebagai adidaya tunggal, Amerika menjadi makin arogan, represif, dan semau gue  terhadap negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional. Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi senjata propagandanya, seringkali mereka acak-acak sendiri saat mereka tak mampu menahan diri untuk menginvasi negara lain, seperti ketika menyerang Irak dan Afghanistan.

Kesendirian tanpa lawan sepadan kerapkali membuat lupa diri untuk memperkuat pertahanan guna mengantisipasi ancaman dan bahaya yang muncul dalam bentuk baru/lain, bukan lagi ekspansi ideologi dan senjata berteknologi tinggi. Dan demikianlah, hampir 30 tahun kemudian (sejak sang Paman Sam menjadi adidaya tunggal), bahaya dan ancaman itu benar-benar muncul dalam bentuk yang sama sekali berbeda serta sangat sulit dideteksi: serangan virus Corona (Covid-19).

Seluruh persenjataan, spionase, dan intelijen yang semuanya serbacanggih dan tak tertandingi milik Amerika menjadi tiada arti karena tak mampu mendeteksi serangan Covid-19. Sebagai soft weapon  yang mereka agung-agungkan, liberalisme/kapitalisme pun tak berarti apa-apa untuk menangkal Covid-19. Sang presiden, Donald Trump, yang sempat menganggapnya remeh dan lelucon, akhirnya mengakui, serangan Covid-19 ke negerinya sebagai hal yang mengerikan.


Jenazah warga AS korban Covid-19 diletakkan tak beraturan di sebuah rumah sakit (Sumber: Metro)


Serangan Covid-19 ke Amerika berlangsung begitu cepat dan mematikan. Pada Maret lalu, saat banyak negara lain mulai kewalahan mengatasi serangan sang virus, Trump bersama rakyatnya masih terlihat tenang-tenang saja karena serangan virus ini ke negeri mereka belum menunjukkan gejala yang mencemaskan. Namun, begitu memasuki pertengahan April, mereka mulai gelisah serta di penghujung bulan yang sama (29 April 2020) rasa sesal dan ngeri  mereka pecah dan tumpah: dalam beberapa pekan saja, lebih dari satu juta warga Amerika terinfeksi Covid-19 dan lebih dari 50 ribu di antaranya meninggal.

Dan memasuki bulan Mei-Juli, pecahlah fenomena horor: Amerika menjadi negara dengan jumlah korban Covid-19 terbesar di dunia. Sampai dengan 3 Juli 2020 (saat artikel ini ditulis), jumlah warga AS yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 2.837.189 orang dan yang meninggal 131.485 orang (data worldometers.info).

Angka itu sangat jauh melampaui jumlah korban di negara-negara lain yang sebelumnya menjadi episentrum awal pandemi Covid-19, seperti Tiongkok, Italia, dan Iran. Angka statistik AS itu juga masih jauh melewati jumlah korban di negara-negara episentrum baru yang kini menduduki peringkat atas, seperti Brasil (peringkat kedua: 1.501.353 terinfeksi; 61.990 meninggal), Rusia (peringkat ketiga: 667.883 terinfeksi; 9.859 meninggal), India (peringkat keempat: 628.205 terinfeksi; 18.241 meninggal), dan Spanyol (peringkat kelima: 297.183 terinfeksi; 28.368 meninggal).

Serangan Covid-19 serta-merta membangkitkan memori bangsa Amerika akan jumlah korban perang atau peristiwa tragis yang pernah mereka alami. Mereka tak menyangka, Covid-19 ternyata jauh lebih ganas dan mematikan dibandingkan serangan komunisme, terorisme, dan bahkan senjata berteknologi tinggi. Lihat saja: serangan Covid-19 dalam beberapa pekan menyebabkan korban tewas 102.107 orang, sedangkan serangan teroris di WTC hanya menelan 2.996 korban jiwa, serangan Jepang terhadap Pearl Harbor hanya membunuh 2.403 prajurit AS, serta Perang Vietnam yang berlangsung hampir 20 tahun hanya mengakibatkan 58.315 prajurit AS tewas. Bahkan jika jumlah korban jiwa dari ketiga peristiwa tragis ini ditotal seluruhnya, angkanya masih jauh di bawah jumlah korban serangan Covid-19!


Demonstrasi warga AS menentang lockdown (Sumber: Antara-Reuters-Lindsey Wasson-TM)  

Keadidayaan Amerika pun kini mulai dipertanyakan, bukan saja oleh masyarakat internasional, bahkan juga mungkin oleh warganya sendiri. Keadidayaan Amerika dalam menghadapi serangan intelijen, terorisme, ideologi, dan senjata dari luar mungkin sudah teruji dan terbkti, tetapi kemampuannya menghadapi serangan virus mematikan justru yang paling buruk dan paling lemah di dunia, setidaknya dilihat dari data (jumlah) korban yang tercatat hingga saat ini.

Tampak cukup jelas, Amerika kurang siap menghadapi serangan mikroorganisme yang tak terlihat oleh mata telanjang. Sejak serangan mulai marak ke berbagai negara awal 2020 lalu, mereka terlalu menganggap remeh dan sepele. Ketika serangan benar-benar menuju ke negeri mereka, sikap keras dan besar kepala mereka (karena merasa sebagai negara terkuat) menyebabkan mereka tidak bersikap disiplin dan protektif –– ketika itu Trump malah melancarkan tuduhan ke negara lain, sementara warganya beramai-ramai membeli senjata api untuk melindungi diri.

Serangan virus tidak dapat dilawan dengan senjata militer yang paling canggih dan dahsyat sekalipun. Jika Amerika masih menghadapinya dengan paradigma perang fisik yang mengandalkan senjata perangkat keras (hard weapon), nasibnya mungkin akan sama dengan para adidaya sebelumnya: kalah dan tergeser. Segala sumber daya yang mereka miliki bisa habis terkuras untuk mengatasinya, itupun jika jutaan warganya tidak tewas lebih dahulu terinfeksi Covid-19 –– ingat, pandemi virus influenza (flu spanyol) tahun 1917/1918 menelan korban jiwa hingga 50 juta penduduk bumi.

Pengalaman Uni Soviet pada era modern menunjukkan, runtuhnya keadidayaan tidak selalu disebabkan oleh invasi militer dan serangan senjata. Dan Amerika yang sejauh ini masih mengandalkan dan membangga-banggakan militer dan senjatanya, serta tak kunjung belajar dari kasus Uni Soviet, bukan tak mungkin mereka akan “mewarisi” nasib tragis mantan seterunya.

No comments:

Post a Comment