Oleh
Akhmad Zamroni
Maskot Kepolisian Republik Indonesia (Sumber: https://bhayangkaranusantara.com) |
Dalam
beberapa bulan ini polisi menjadi lakon dalam sorotan publik dan media.
Setidaknya ada dua peristiwa yang menjadikannya demikian. Pertama, persidangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel
Baswedan dan, kedua, kasus unggahan
humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur oleh seorang warga Maluku Utara di Facebook.
Kedua
kasus itu melibatkan para polisi. Novel Baswedan adalah seorang polisi yang
menjadi penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua terdakwa penyiram
air keras terhadapnya juga berprofesi sebagai polisi. Warga Maluku Utara yang
mengunggah humor Gus Dur sempat berurusan pula dengan kepolisian resor setempat
karena humor itu bersinggungan dengan citra polisi Indonesia (lelucon Gus Dur
yang dikutip dan diunggah pelaku adalah “hanya ada tiga polisi jujur di
Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”).
Polisi
tak pernah lekang menjadi lakon pembicaraan. Tugas dan tanggung jawabnya
sebagai aparat keamanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setiap hari
membuat polisi menjadi salah satu subjek unggulan dalam percakapan media dan
masyarakat. Hampir setiap beberapa jam atau bahkan setiap beberapa menit,
kosakata ‘polisi’ disebut oleh masyarakat dan media akibat banyaknya tindak
kejahatan di Indonesia yang menempatkan polisi sebagai aparat yang menanganinya.
***
Polisi
dibicarakan di tengah masyarakat dengan tiga nada: rendah, sedang, dan tinggi.
Orang memperbincangkan polisi dengan nada rendah dan memuji saat menilai polisi
sebagai aparat penjaga keamanan dan penegak hukum yang memungkinkan masyarakat
hidup tertib dan aman. Orang menceritakan polisi dengan nada sedang dan kecewa ketika
menganggap polisi kurang peduli dengan nasib masyarakat kalangan bawah yang
sering menjadi korban kejahatan dan diskriminasi hukum. Orang mengata-ngatai
polisi dengan nada tinggi dan marah saat menganggap sebagian besar polisi
adalah brengsek karena gemar melakukan pungli, kolusi, korupsi, dan konspirasi
dalam penegakan hukum.
Kita
tidak dapat menilai, nada mana yang paling sering diekspresikan masyarakat
dalam membicarakan polisi karena survei mengenai hal itu tidak pernah
dilakukan. Satu hal yang pasti adalah saat masyarakat membicarakan polisi,
ketiga nada itu muncul secara berganti-ganti. Hal itu sudah menjadi rahasia
umum sehingga para polisi sendiri pun, hampir dapat dipastikan, merasakan dan
mengetahuinya (dan semoga juga memakluminya).
Satu
hal pasti lainnya adalah tidak sedikit polisi yang masih memiliki akhlak
terpuji dan integritas tinggi, selain tidak sedikit pula polisi yang masih
memiliki moral dan perilaku tercela. Ada banyak polisi yang rajin beribadah,
hidup sederhana, rendah hati, jujur, disiplin, serta tidak suka pungli dan
korupsi, tetapi ada banyak pula polisi yang memiliki perilaku yang sebaliknya.
Tidak diketahui dengan pasti mana yang lebih dominan di antara keduanya karena polling
tentang hal itu juga belum pernah dilakukan.
Untuk
menunjukkan prasangka baik sekaligus memotivasi polisi agar bekerja dan
mengabdi kepada masyarakat dan negara dengan lebih baik, lebih disiplin, lebih
berintegritas, dan lebih berprestasi lagi, anggap saja bahwa moral dan perilaku
sebagian besar polisi kita masih baik-baik saja. Bahwa sebagian polisi masih suka
berbohong, pungli, korupsi, dan melakukan tindakan tercela lainnya, mereka
hanya oknum-oknum yang sebagiannya sudah ditangani secara hukum oleh polisi
sendiri. Polisi menghukum polisi dalam penegakan hukum adalah hal biasa karena
tidak ada orang yang kebal hukum dan semua waga negara memiliki kedudukan yang
sama di depan hukum.
***
Polisi
buruk pelaku tindak kriminal yang dihukum mungkin jumlahnya tidak sedikit,
tetapi hingga kini hampir tidak ada yang sosoknya melegenda. Sebaliknya, polisi
baik yang melakukan tugas penegakan hukum dengan disiplin dan integritas tinggi
ada yang namanya sangat terkenal dan dikenang banyak orang. Contoh polisi
dengan kategori terakhir ini adalah Novel Baswedan dan Hoegeng Iman Santoso,
dua nama yang sudah disinggung pada awal tulisan ini.
Novel
dan Hoegeng adalah dua polisi fenomenal. Tanpa berkeinginan menjadi terkenal, mereka
secara alamiah menjadi termasyhur dengan sendirinya karena integritas dan
prestasinya. Media memberitakannya dengan citra yang positif, sementara
masyarakat menerima dan mengapresiasinya dengan gembira, bangga, dan penuh rasa
syukur.
Masyarakat
Indonesia mungkin menggumam dengan penuh rasa kagum: di tengah banyaknya aparat
hukum, pejabat negara, dan wakil rakyat yang hidup bermewah-mewahan serta gemar
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih ada polisi yang hidup penuh
kesederhanaan, penuh pengabdian, serta menjalankan tugas dan kewajiban profesi
dengan moralitas dan integritas tinggi. Banyak orang juga mungkin merasa
takjub: Novel dan Hoegeng mempraktikkan semua itu dengan alami dan tanpa
dibuat-buat; mereka melakukannya karena tuntutan hati nurani akan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai penegak hukum.
Kita
juga perlu mengacungkan dua jempol kepada keduanya karena mereka konsisten dan
tak pandang bulu menjalankan tugas penegakan hukum meski harus kehilangan hal-hal
penting dalam hidupnya. Hoegeng kehilangan jabatan sebagai Kapolri akibat
dicopot Presiden Soeharto gara-gara tak kenal kompromi dalam membongkar kasus-kasus
kejahatan yang melibatkan keluarga pejabat dan keluarga Soeharto sendiri. Novel
bahkan kehilangan mata kirinya (buta) gara-gara tak kompromi dalam membongkar
kasus korupsi yang melibatkan pejabat Polri.
***
Saya
menulis dengan penuh keheranan, mengapa polisi unggul seperti Hoegeng dan Novel
justru mengalami hal-hal ironis dalam kariernya. Prestasi mereka yang cemerlang
secara linear seharusnya diikuti perjalanan karier yang lancar dan sukses
hingga ke puncak. Setelah menjadi Kapolri, Hoegeng seharusnya menjadi presiden
RI. Setelah menjadi penyidik KPK, Novel seharusnya menjadi ketua KPK atau
Kapolri untuk kemudian (kelak) juga menjadi presiden RI.
Jika
dikatakan bahwa Indonesia masih dipenuhi KKN yang tak habis-habis, dikangkangi
banyak politikus busuk yang tak kunjung insyaf, dikacaukan pengusaha-pengusaha
rakus yang tak kenal rasa puas, dan disesaki aparat penegak hukum korup yang
tak kunjung bertobat, harusnya pribadi bersih, jujur, tegas, dan tak pandang
bulu dalam menegakkan hukum seperti Hoegeng dan Novel dapat menjadi pemimpin di
negeri ini. Entah bagaimana SOP-nya, polisi luar biasa seperti mereka
seharusnya bisa menjadi pemimpin puncak agar hal-hal negatif yang terus-menerus
dikeluhkan di atas bisa diakhiri. Bukankah untuk membersihkan lantai yang kotor
diperlukan sapu yang bersih?
Saya
juga tak habis pikir, mengapa polisi seperti Novel dan Hoegeng hanya mendapat simpati
dan dukungan dari masyarakat, tetapi sangat minim memperoleh support dari korps dan atasannya. Tidak
hanya tidak mendapat sokongan, Novel dan Hoegeng justru mendapat perlakuan yang
kurang semestinya dari korps dan atasannya. Bahkan Novel sampai mendapat teror
ekstrem dari sejawatnya hingga mata kirinya buta.
Tragisnya nasib polisi baik oleh perlakuan ironis korps dan
atasannya sudah cukup menggambarkan citra penegakan hukum dan kepolisian di
negeri kita. Tanpa dibeberkan secara mendalam dengan rujukan teori hukum dan moral
yang canggih pun masyarakat sudah dapat menerka apa yang terjadi dalam dunia
penegakan hukum dan kepolisian kita. Tanpa dijelaskan panjang lebar dengan
berbagai pertimbangan politik, sosial, dan budaya pun masyarakat kiranya sudah
dapat membuat kesimpulan sendiri tentang keadaan hukum dan korps baju cokelat.
***
Lakon
Hoegeng dan Novel seharusnya seperti lakon sandiwara yang menjadikan tokoh
protagonisnya mengalami kejadian menyenangkan dan meraih kemenangan pada akhir
cerita. Namun, sayangnya, lakon mereka “dipentaskan” di panggung dunia nyata
Indonesia. Di panggung drama, sutradara bisa mementaskan lakon menyenangkan
sesuai dengan keinginan dan selera para penontonnya, tetapi di dunia nyata negeri
kita lakon polisi jujur mendapat dukungan formal dari institusi internal dan infrastruktur
negara masih sangat sulit direalisasi.
Lakon
polisi tampaknya akan terus menjadi perbincangan publik dan media dengan
perspektif dan tendensi yang berbeda-beda. Ibarat lakon drama yang dipenuhi
peristiwa kejahatan, polisi adalah tokoh utama yang diidam-idamkan penonton
untuk mampu memberantas kejahatan serta meringkus para penjahat tanpa melakukan
salah tangkap dan apalagi menangkap atau mengucilkan teman sendiri yang
menjalankan tugas dengan benar. Jika hal terakhir ini yang terjadi, tentu saja,
penonton (masyarakat) akan meninggalkan gedung pertunjukan dengan rasa kecewa
dan cerita penegakan hukum Indonesia akan dipenuhi tragedi ketidakadilan yang
tiada habis-habisnya.
Allaahu a’lam bissawaab.
No comments:
Post a Comment