Monday, July 6, 2020

Lakon Polisi



Oleh Akhmad Zamroni

Maskot Kepolisian Republik Indonesia (Sumber: https://bhayangkaranusantara.com) 

 
Dalam beberapa bulan ini polisi menjadi lakon dalam sorotan publik dan media. Setidaknya ada dua peristiwa yang menjadikannya demikian. Pertama, persidangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dan, kedua, kasus unggahan humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur oleh seorang warga Maluku Utara di Facebook.

Kedua kasus itu melibatkan para polisi. Novel Baswedan adalah seorang polisi yang menjadi penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua terdakwa penyiram air keras terhadapnya juga berprofesi sebagai polisi. Warga Maluku Utara yang mengunggah humor Gus Dur sempat berurusan pula dengan kepolisian resor setempat karena humor itu bersinggungan dengan citra polisi Indonesia (lelucon Gus Dur yang dikutip dan diunggah pelaku adalah “hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”).

Polisi tak pernah lekang menjadi lakon pembicaraan. Tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat keamanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setiap hari membuat polisi menjadi salah satu subjek unggulan dalam percakapan media dan masyarakat. Hampir setiap beberapa jam atau bahkan setiap beberapa menit, kosakata ‘polisi’ disebut oleh masyarakat dan media akibat banyaknya tindak kejahatan di Indonesia yang menempatkan polisi sebagai aparat yang menanganinya.

***

Polisi dibicarakan di tengah masyarakat dengan tiga nada: rendah, sedang, dan tinggi. Orang memperbincangkan polisi dengan nada rendah dan memuji saat menilai polisi sebagai aparat penjaga keamanan dan penegak hukum yang memungkinkan masyarakat hidup tertib dan aman. Orang menceritakan polisi dengan nada sedang dan kecewa ketika menganggap polisi kurang peduli dengan nasib masyarakat kalangan bawah yang sering menjadi korban kejahatan dan diskriminasi hukum. Orang mengata-ngatai polisi dengan nada tinggi dan marah saat menganggap sebagian besar polisi adalah brengsek karena gemar melakukan pungli, kolusi, korupsi, dan konspirasi dalam penegakan hukum.

Kita tidak dapat menilai, nada mana yang paling sering diekspresikan masyarakat dalam membicarakan polisi karena survei mengenai hal itu tidak pernah dilakukan. Satu hal yang pasti adalah saat masyarakat membicarakan polisi, ketiga nada itu muncul secara berganti-ganti. Hal itu sudah menjadi rahasia umum sehingga para polisi sendiri pun, hampir dapat dipastikan, merasakan dan mengetahuinya (dan semoga juga memakluminya).

Satu hal pasti lainnya adalah tidak sedikit polisi yang masih memiliki akhlak terpuji dan integritas tinggi, selain tidak sedikit pula polisi yang masih memiliki moral dan perilaku tercela. Ada banyak polisi yang rajin beribadah, hidup sederhana, rendah hati, jujur, disiplin, serta tidak suka pungli dan korupsi, tetapi ada banyak pula polisi yang memiliki perilaku yang sebaliknya. Tidak diketahui dengan pasti mana yang lebih dominan di antara keduanya karena polling  tentang hal itu juga belum pernah dilakukan.

Untuk menunjukkan prasangka baik sekaligus memotivasi polisi agar bekerja dan mengabdi kepada masyarakat dan negara dengan lebih baik, lebih disiplin, lebih berintegritas, dan lebih berprestasi lagi, anggap saja bahwa moral dan perilaku sebagian besar polisi kita masih baik-baik saja. Bahwa sebagian polisi masih suka berbohong, pungli, korupsi, dan melakukan tindakan tercela lainnya, mereka hanya oknum-oknum yang sebagiannya sudah ditangani secara hukum oleh polisi sendiri. Polisi menghukum polisi dalam penegakan hukum adalah hal biasa karena tidak ada orang yang kebal hukum dan semua waga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

***

Polisi buruk pelaku tindak kriminal yang dihukum mungkin jumlahnya tidak sedikit, tetapi hingga kini hampir tidak ada yang sosoknya melegenda. Sebaliknya, polisi baik yang melakukan tugas penegakan hukum dengan disiplin dan integritas tinggi ada yang namanya sangat terkenal dan dikenang banyak orang. Contoh polisi dengan kategori terakhir ini adalah Novel Baswedan dan Hoegeng Iman Santoso, dua nama yang sudah disinggung pada awal tulisan ini.

Novel dan Hoegeng adalah dua polisi fenomenal. Tanpa berkeinginan menjadi terkenal, mereka secara alamiah menjadi termasyhur dengan sendirinya karena integritas dan prestasinya. Media memberitakannya dengan citra yang positif, sementara masyarakat menerima dan mengapresiasinya dengan gembira, bangga, dan penuh rasa syukur.

Masyarakat Indonesia mungkin menggumam dengan penuh rasa kagum: di tengah banyaknya aparat hukum, pejabat negara, dan wakil rakyat yang hidup bermewah-mewahan serta gemar melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih ada polisi yang hidup penuh kesederhanaan, penuh pengabdian, serta menjalankan tugas dan kewajiban profesi dengan moralitas dan integritas tinggi. Banyak orang juga mungkin merasa takjub: Novel dan Hoegeng mempraktikkan semua itu dengan alami dan tanpa dibuat-buat; mereka melakukannya karena tuntutan hati nurani akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum.

Kita juga perlu mengacungkan dua jempol kepada keduanya karena mereka konsisten dan tak pandang bulu menjalankan tugas penegakan hukum meski harus kehilangan hal-hal penting dalam hidupnya. Hoegeng kehilangan jabatan sebagai Kapolri akibat dicopot Presiden Soeharto gara-gara tak kenal kompromi dalam membongkar kasus-kasus kejahatan yang melibatkan keluarga pejabat dan keluarga Soeharto sendiri. Novel bahkan kehilangan mata kirinya (buta) gara-gara tak kompromi dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan pejabat Polri.

***

Saya menulis dengan penuh keheranan, mengapa polisi unggul seperti Hoegeng dan Novel justru mengalami hal-hal ironis dalam kariernya. Prestasi mereka yang cemerlang secara linear seharusnya diikuti perjalanan karier yang lancar dan sukses hingga ke puncak. Setelah menjadi Kapolri, Hoegeng seharusnya menjadi presiden RI. Setelah menjadi penyidik KPK, Novel seharusnya menjadi ketua KPK atau Kapolri untuk kemudian (kelak) juga menjadi presiden RI.

Jika dikatakan bahwa Indonesia masih dipenuhi KKN yang tak habis-habis, dikangkangi banyak politikus busuk yang tak kunjung insyaf, dikacaukan pengusaha-pengusaha rakus yang tak kenal rasa puas, dan disesaki aparat penegak hukum korup yang tak kunjung bertobat, harusnya pribadi bersih, jujur, tegas, dan tak pandang bulu dalam menegakkan hukum seperti Hoegeng dan Novel dapat menjadi pemimpin di negeri ini. Entah bagaimana SOP-nya, polisi luar biasa seperti mereka seharusnya bisa menjadi pemimpin puncak agar hal-hal negatif yang terus-menerus dikeluhkan di atas bisa diakhiri. Bukankah untuk membersihkan lantai yang kotor diperlukan sapu yang bersih?

Saya juga tak habis pikir, mengapa polisi seperti Novel dan Hoegeng hanya mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat, tetapi sangat minim memperoleh support dari korps dan atasannya. Tidak hanya tidak mendapat sokongan, Novel dan Hoegeng justru mendapat perlakuan yang kurang semestinya dari korps dan atasannya. Bahkan Novel sampai mendapat teror ekstrem dari sejawatnya hingga mata kirinya buta.

Tragisnya nasib polisi baik oleh perlakuan ironis korps dan atasannya sudah cukup menggambarkan citra penegakan hukum dan kepolisian di negeri kita. Tanpa dibeberkan secara mendalam dengan rujukan teori hukum dan moral yang canggih pun masyarakat sudah dapat menerka apa yang terjadi dalam dunia penegakan hukum dan kepolisian kita. Tanpa dijelaskan panjang lebar dengan berbagai pertimbangan politik, sosial, dan budaya pun masyarakat kiranya sudah dapat membuat kesimpulan sendiri tentang keadaan hukum dan korps baju cokelat.

***

Lakon Hoegeng dan Novel seharusnya seperti lakon sandiwara yang menjadikan tokoh protagonisnya mengalami kejadian menyenangkan dan meraih kemenangan pada akhir cerita. Namun, sayangnya, lakon mereka “dipentaskan” di panggung dunia nyata Indonesia. Di panggung drama, sutradara bisa mementaskan lakon menyenangkan sesuai dengan keinginan dan selera para penontonnya, tetapi di dunia nyata negeri kita lakon polisi jujur mendapat dukungan formal dari institusi internal dan infrastruktur negara masih sangat sulit direalisasi.

Lakon polisi tampaknya akan terus menjadi perbincangan publik dan media dengan perspektif dan tendensi yang berbeda-beda. Ibarat lakon drama yang dipenuhi peristiwa kejahatan, polisi adalah tokoh utama yang diidam-idamkan penonton untuk mampu memberantas kejahatan serta meringkus para penjahat tanpa melakukan salah tangkap dan apalagi menangkap atau mengucilkan teman sendiri yang menjalankan tugas dengan benar. Jika hal terakhir ini yang terjadi, tentu saja, penonton (masyarakat) akan meninggalkan gedung pertunjukan dengan rasa kecewa dan cerita penegakan hukum Indonesia akan dipenuhi tragedi ketidakadilan yang tiada habis-habisnya.

Allaahu a’lam bissawaab.



No comments:

Post a Comment