Oleh
Akhmad Zamroni
Pancasila (Sumber: ©2014 merdeka.com)
SEJATINYA,
Pancasila sudah final sebagai dasar negara dan ideologi negara kita. Sejak disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945 sebagai bagian dari Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pancasila telah
disepakati secara bulat oleh seluruh komponen bangsa sebagai dasar negara.
Tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat, rumusan Pancasila yang
terdiri atas lima butir asas/sila selain telah
menjadi konsensus nasional sebagai dasar negara, juga menjadi ideologi negara,
sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, perjanjian
luhur bangsa, cita-cita dan tujuan bangsa, falsafah hidup bangsa, dan jiwa
bangsa Indonesia.
Konsekuensi dari konsensus itu menjadi sangat jelas bahwa
Pancasila merupakan landasan dan pedoman bagi rakyat Indonesia dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua sendi
kehidupan bangsa dan negara harus dijalankan berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila. Kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan sebagainya baik yang dilakukan individu dan masyarakat maupun
pemerintah sebagai penyelenggara negara harus sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila.
Melalui kelima silanya, Pancasila sudah benar-benar built-in
(siap pakai) sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara karena dirumuskan dengan klausul yang logis, komunikatif,
dan implementatif. Tidak hanya pakar filsafat dan hukum tata negara, bahkan
para pelajar sekolah pun sesungguhnya sudah paham akan inti (substansi) dari
kelima sila Pancasila. Kita tak perlu membuka referensi untuk memahami,
misalnya, makna kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sila pertama) atau
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima); demikian juga
untuk memahami ketiga sila lainnya.
Dengan
telah sahnya kedudukan dan fungsi Pancasila (sebagai dasar negara, ideologi
negara, dan seterusnya) serta jelasnya makna dari setiap sila yang
dikandungnya, maka hal yang paling urgen dan wajib dilakukan oleh seluruh
bangsa Indonesia adalah menghayati dan mengamalkan nilai-nilainya dalam semua
sendi kehidupan bangsa dan negara. Adapun hal yang harus dihindari adalah memasalahkan
dan meredefinisi substansi Pancasila dengan rumusan baru yang subjektif dan
eksklusif. Pedoman hidup yang orientasinya sudah gamblang sebagaimana Pancasila
tidak membutuhkan perumusan ulang, melainkan implementasi (pelaksanaan) dengan
tindakan konkret dalam kehidupan nyata.
Oleh
sebab itu, upaya membuat regulasi sebagai petunjuk pelaksanaan nilai-nilai
Pancasila secara eksplisit dalam praksis kehidupan menjadi bersifat artifisial
dan cenderung dogmatis. Lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang
memicu kontroversi dalam beberapa pekan terakhir mengindikasikan bagian dari
semacam upaya dogmatisasi yang seharusnya tidak terjadi. Upaya untuk
menginternalisasi (penghayatan) Pancasila dan memperkuat implemantasi nilai-nilainya
dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan lebih
tepat serta sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri (Pancasilais) jika
dilakukan dengan pembuatan dan pemberlakuan regulasi (peraturan
perundang-undangan) yang ketentuan-ketentuannya secara tidak langsung
mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, bukan regulasi yang ketentuan-ketentuannya
secara eksplisit berkutat pada penafsiran-penafsiran terhadap Pancasila.
Jika
praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dirasakan belum
menunjukkan implementasi nilai-nilai Pancasila atau bahkan justru banyak
bertentangan dengannya, yang harus dipersoalkan adalah pelaksananya, bukan
Pancasila sebagai landasan atau pedomannya. Yang salah dan wajib dibenahi adalah
personel beserta seluruh kebijakan, sikap, dan perilakunya, bukan aturannya
yang sudah baku dan disepakati sebagai dasar dan ideologi negara. Praktik
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaralah yang wajib menyelaraskan diri dengan
nilai-nilai Pancasila, bukan sebaliknya.
Selama
ini, yang banyak terjadi adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila,
bukan kesulitan menafsirkan dan mengimplementasikan nilai-nilainya. Pelanggaran
terhadap Pancasila banyak terjadi akibat penyimpangan kebijakan dan perilaku
yang didasari kepentingan pribadi dan kelompok, bukan akibat kekurangan atau
ketidaklengkapan Pancasila sebagai dasar negara. Pada era Orde Lama dan Orde
Baru, ironi pelanggaran terhadap Pancasila secara masif dilakukan oleh rezim
penguasa (pemerintah), sedangkan pada era Reformasi didominasi oleh aparat
negara dan penegak hukum yang kemudian menurun pada masyarakat luas sebagai
bentuk peniruan.
Sejak
memasuki era Reformasi (1998), seluruh regulasi dikoreksi dan direvisi agar
tidak bertentangan dengan Pancasila (dan UUD 1945) serta dibuat regulasi baru
untuk memperkuat implementasi nilai-nilai Pancasila. Namun, pelanggaran
terhadap Pancasila dalam bentuk penyimpangan perilaku dan kebijakan masih tetap
marak di mana-mana, terutama dalam birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum.
Kolusi, korupsi, penyalahgunaan hukum, serta ketidakadilan ekonomi — sebagai
bentuk pelanggaran paling nyata dan ekstrem terhadap nilai-nilai Pancasila — masih
terjadi secara masif hingga hari ini.
Demonstrasi mendukung KPK (Sumber: Jawa Pos) |
Sebagai konsekuensinya, banyak agenda pemerintah sebagai program dan penyelenggaraan negara menjadi terbengkalai. Upaya pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan narkoba melalui penegakan hukum yang adil serta pemerataan ekonomi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang terbaru, penanganan pandemi Covid-19 berlangsung lamban, tak terkoordinasi dengan baik, serta diwarnai banyak kesimpangsiuran.
Pemberantasan
korupsi dan penegakan hukum menjadi agenda yang mengalami nasib paling
mengenaskan. Implementasinya mengalami kemacetan atau diskriminasi akibat
oligarki dan konflik kepentingan. Terbengkalainya kedua agenda ini, antara
lain, ditandai oleh revisi undang-undang KPK yang menyebabkan teramputasinya
kewenangan-kewenangan penting KPK (Komisi Pemberantasn Korupsi), penyelesaian hukum
kasus Bank Century dan kasus Harun
Masiku, penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, serta
yang terbaru bebas dan berkeliarannya buron terpidana korupsi kelas kakap Djoko
Tjandra tanpa terdeteksi Direktorat Imigrasi dan Kejaksaan Agung.
Terbengkalainya
agenda negara, sadar atau tidak sadar, bermula dari diabaikannya Pancasila
sebagai landasan hukum serta pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara yang
paling penting dan utama. Meskipun sesungguhnya sangat jelas bahwa korupsi dan
penyalahgunaan hukum merupakan perilaku yang melanggar Pancasila (terutama sila
pertama dan kelima), keduanya tetap dipraktikkan akibat yang menjadi
pertimbangan adalah ambisi serta kepentingan pribadi dan kelompok. Nilai-nilai
Pancasila tidak dipedulikan sebagai norma utama dalam berbangsa dan bernegara
sehingga apa yang terjadi sebenarnya adalah pelanggaran sekaligus pengkhianatan
terhadap Pancasila. Hal ini merupakan pelanggaran yang paling serius dan
berbahaya karena cepat atau lambat dapat menggoyahkan kelangsungan hidup bangsa
dan negara kita.
Pada
titik kulminasi ini menjadi makin jelas bahwa program pembuatan peraturan perundang-undangan
tentang Pancasila tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar yang menyebabkan
banyaknya terjadi pelanggaran terhadap Pancasila. Problematika pokoknya bukan
terletak pada Pancasila, melainkan pada kesetiaan dan ketertundukan terhadap
Pancasila di kalangan pejabat negara, anggota parlemen, pengusaha, dan aparat
penegak hukum yang rendah dan kacau balau. Maka, program krusial yang harus
segera dilaksanakan adalah menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam
jiwa kalangan-kalangan tersebut melalui penegakan hukum yang konsisten dan
tanpa pandang bulu.
Namun,
mungkinkah hal itu dapat terwujud? Allahu
a’lam bissawab.