Saturday, March 31, 2018

John Locke (1632–1704)

John Locke, peletak dasar HAM (Sumber: (Famous Biographies)

John Locke lahir di Wrington, Somerset, Inggris, pada 29 Agustus 1632. Pada tahun 1656 ia memperoleh gelar sarjana muda dari Universitas Oxford, Inggris, kemudian pada tahun 1658 mendapatkan gelar sarjana penuh dari universitas yang sama. Sejak remaja, Locke sudah sangat tertarik pada ilmu pengetahuan serta pada usia 36 tahun terpilih menjadi anggota Royal Society. Locke juga tertarik pada bidang kedokteran sehingga mampu meraih gelar sarjana muda dalam bidang ini.
Locke meninggal dunia di Oats, Essex, pada 28 Oktober 1704. Sampai akhir hayatnya, Locke hidup membujang. Ia menjadi sahabat karib kimiawan terkenal, Robert Boyle. Hampir sepanjang hidupnya, Locke juga menjadi sahabat dekat Isaac Newton, fisikawan termasyhur dan paling berpengaruh di Inggris dan di dunia.
Perkenalan John Locke dengan Pangeran Shaftesbury membawanya menjadi sekretaris dan dokter keluarga sang pengeran. Pangeran Shaftesbury sempat dipenjara oleh Raja Charles II karena ide-ide liberal dan kegiatan politiknya. Pada tahun 1682 Shaftesbury melarikan diri ke Belanda, kemudian setahun berikutnya meninggal dunia di Negeri Kincir itu. Locke sendiri hampir senantiasa diawasi aparat kerajaan akibat hubungan dekatnya dengan mendiang Shaftesbury sehingga kemudian ia juga melarikan diri ke Belanda (1683). Locke kembali dan menetap di Inggris pada tahun 1689 setelah Raja James II (pengganti Raja Charles II) berhasil digulingkan melalui sebuah revolusi.
·          Peletak Dasar Hak Asasi Manusia
Apa dan bagaimanakah hubungan John Locke dan hak asasi manusia? Apa sumbangannya bagi pengembangan hak asasi manusia? Apakah ia termasuk dalam deretan pejuang, pendekar, atau pahlawan hak asasi manusia dunia? Benarkah ia termasuk tokoh yang berjasa dalam pengembangan hak asasi manusia?
Locke adalah seorang filsuf cemerlang yang pernah dimiliki Inggris. Sebagai filsuf, Locke tidak memperjuangkan sesuatu dengan manuver (gerakan) dan kekuatan fisik, melainkan dengan pikiran-pikiran atau gagasan-gagasannya. Locke menyampaikan gagasan-gagasannya secara tertulis dalam bentuk buku. Buku-buku yang ia tulis membuat gagasan-gagasannya tersebar ke berbagai penjuru dunia, mengilhami banyak tokoh dan bangsa lain, serta membuat namanya melegenda.
Buku yang terutama membuat reputasinya melambung dan termasyhur adalah A Letter Concerning Toleration  (terbit tahun 1689), An Essay Concerning Human Understanding  (1690), dan Two Treatises of Government  (1690). Buku-buku ini, antara lain, memuat pemikiran Locke tentang hakikat dan keterbatasan manusia, hak-hak dasar dan alamiah manusia, toleransi antaragama, hak raja, kekuasaan dan tugas pemerintah, serta konstitusi negara. Buku-buku lain karyanya adalah Some Considerations of the Consequences of the Lowering of Interest and Raising of the Value of Money  (1692), Some Thoughts Concerning Education  (1693), The Reasonableness of Christianity  (1695), dan Further Considerations of the Raising the Value of Money  (1695).
Locke termasuk tokoh utama dan perintis hak asasi manusia dunia. Jauh sebelum tokoh lain membahas masalah hak asasi manusia secara sistematis dan mendalam, Locke sudah melakukan hal itu dengan meyakinkan. Pada saat banyak bangsa di dunia hidup dalam penjajahan, penindasan, kemiskinan, dan kebodohan yang akut, yang menyebabkan mereka hampir sama sekali tak memiliki kesadaran tentang hak asasi manusia, melalui ide-idenya Locke sudah berusaha meletakkan dasar-dasar hak asasi manusia untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia. Locke melakukan semua itu sejak abad ke-17 (tahun 1600-an).
Sekitar empat abad sebelum Locke lahir, di Inggris memang sudah ada Magna Charta (1215), dokumen yang mengatur hak raja dan hak rakyat. Namun, dokumen tersebut dapat dikatakan merupakan karya kolektif yang cenderung berisi rumusan umum tentang pengaturan hak (raja dan rakyat) dalam kehidupan masyarakat Inggris saja. Adapun tentang hak asasi manusia, Locke membahasanya secara lebih terperinci dan lebih mendasar dalam cakupan, kehidupan, dan kepentingan umat manusia (di seluruh dunia).
·          Bapak Hak Asasi Manusia
Dalam bukunya, Two Treatises of Government, Locke, antara lain, menyatakan bahwa setiap manusia  –– tentu tidak hanya di Inggris –– memiliki hak alamiah. Hak itu tidak hanya sekadar terkait dengan hak hidup, melainkan juga kebebasan pribadi dan hak atas pemilikan sesuatu. Menyangkut hal ini, menurut Locke, pemerintah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melindungi penduduk dan hak milik warga negara.
Locke berpandangan bahwa manusia, berdasarkan hukum alam, adalah bebas dan sederajat serta memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diserahkan kepada kelompok masyarakat lainnya, kecuali melalui perjanjian masyarakat. Pada saat menjadi anggota masyarakat, manusia/individu hanya menyerahkan hak-hak tertentu demi keamanan dan kepentingan bersama. Setiap individu tetap memiliki hak prerogatif fundamental yang diperoleh dari alam. Hak ini merupakan hal yang tak terpisahkan sebagai bagian utuh dari kepribadiannya sebagai manusia. Keyakinan dan pandangan Locke mengenai adanya hak abadi yang melekat pada setiap manusia ini mengantarkannya menjadi tokoh yang mendapat predikat “Bapak Hak Asasi Manusia”.
Perihal hubungan pemerintah (kerajaan) dan rakyat, Locke menolak anggapan bahwa raja memiliki hak suci. Ia menegaskan, pemerintah dapat menjalankan kekuasaannya hanya jika mendapat persetujuan dari pihak yang diperintah (rakyat). Menurutnya, kemerdekaan pribadi dalam masyarakat berada di bawah kekuasaan legislatif yang disepakati dalam suatu negara. Jika legislator merampas dan menghancurkan hak milik penduduk atau menguranginya serta mengarah pada perbudakan di bawah kekuasaan, mereka berada dalam keadaan perang dengan penduduk; dan karena itu, penduduk terbebas dari kesalahan jika melakukan pembangkangan.
Bagi Locke, pemerintahan tidaklah memiliki kekuasaan yang tanpa batas. Ia bersikeras pada prinsip kekuasaan berdasarkan mayoritas, tetapi kelompok mayoritas tidak diperbolehkan merusak hakikat hak-hak manusia. Suatu pemerintahan hanya dapat merampas hak milik jika mendapat perkenan (persetujuan) dari pihak yang diperintah.
Perihal kebebasan beragama dan beribadah, Locke membahasnya dalam buku A Letter Concerning Toleration. Menurut Locke, pemerintah tidak diperbolehkan melakukan intervensi terlampau jauh dalam kegiatan ibadah masyarakat. Locke menyampaikan idenya ini terutama untuk melindungi penganut agama dan kepercayaan non-Kristen –– saat itu Kristen menjadi agama mayoritas di Inggris. Ia memandang bahwa baik penganut kepercayaan primitif, Islam, maupun Yahudi tidak boleh dikurangi hak-hak sipilnya dalam kehidupan bernegara semata-mata atas pertimbangan agama.
       Tulisan-tulisan Locke dirasakan memancarkan daya tarik yang luar biasa. Ide-idenya mengenai hak-hak rakyat/penduduk, tugas dan tanggung jawab pemerintah, serta kebebasan rakyat/penduduk untuk melakukan pembangkangan atau perlawanan terhadap pemerintah (jika pemerintah melakukan penindasan) menyebar luas serta memberi pengaruh kuat pada para filsuf, aktivis kebebasan, pejuang kemerdekaan, penggerak revolusi, dan tokoh pemimpin negara di berbagai penjuru dunia. Gagasan-gagasan Locke merasuk ke dalam pemikiran-pemikiran filsuf terkenal, seperti David Hume, Voltaire, dan Immanuel Kant. Salah satu tokoh bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson, sangat terkesan dengan buah pikiran Locke sehingga memanfaatkan ide-idenya untuk merumuskan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) bangsa Amerika. Gagasan-gagasan Locke secara tidak langsung juga memicu terjadinya Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika serta mendorong dirumuskannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB.

Pejuang dan Pahlawan Hak Asasi Manusia

Upaya perlindungan dan penegakan HAM membutuhkan pahlawan HAM
(Sumber: Grafis Zamroni
)


Mungkinkah hak asasi manusia terjamin, tegak, dan terlindungi dengan sendirinya tanpa diusahakan atau diperjuangkan? Mungkinkah sebuah rezim pemerintah atau kaum penjajah dengan sukarela memberi kebebasan kepada semua warga negara atau kepada masyarakat jajahannya untuk melaksanakan hak asasi tanpa kekangan atau pembatasan? Walaupun sesungguhnya setiap individu manusia diberi hak asasi oleh Tuhan, apakah hak asasi itu secara otomatis dapat dilaksanakan dengan leluasa tanpa hambatan dari sesama atau penguasa?
Sejarah kehidupan manusia membuktikan bahwa jarang sekali –– jika tak dapat dikatakan hampir tidak pernah terjadi –– hak-hak masyarakat tegak dengan sendirinya tanpa usaha atau tanpa perjuangan. Sebaliknya, sejarah kehidupan manusia justru dipenuhi dengan penindasan oleh kelompok yang kuat terhadap yang lemah, oleh kaum penjajah terhadap masyarakat yang dijajah, oleh penguasa otoriter terhadap rakyat, atau oleh aparat pemerintah terhadap warga masyarakat. Akibat banyaknya penindasan dalam berbagai bentuknya, perjalanan kehidupan manusia penuh dengan liku-liku perjuangan berat mewujudkan tegak dan terjaminnya hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Perjuangan menegakkan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan hampir tidak pernah dapat dilakukan dengan mudah, mulus, dan instant. Para diktator, otoritarian, dan penindas selalu saja menghalalkan berbagai cara –– termasuk cara negatif, seperti teror, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan –– untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya. Perjuangan membebaskan masyarakat dari kediktatoran dan kesewenang-wenangan sama sekali bukanlah perjuangan yang ringan dan sederhana. Perjuangan untuk mengalahkan kesewenang-wenangan senantiasa merupakan perjuangan sangat berat yang membutuhkan pengorbanan waktu, energi, pikiran, harta benda, dan seringkali juga jiwa (nyawa).
Perjuangan membebaskan masyarakat dari penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia, karena itu, membutuhkan kepeloporan orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berbagai hal. Perjuangan tersebut umumnya tidak dilakukan oleh orang-orang kebanyakan dengan kemampuan yang biasa-biasa saja. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan lazimnya dilakukan oleh para pejuang atau pahlawan yang memiliki integritas dan komitmen kemanusiaan yang luar biasa.
Para pejuang dan pahlawan hak asasi manusia dan kemanusiaan memiliki keluarbiasaan dalam keberanian dan konsistensi. Mereka kebal dari ancaman dan teror serta tidak gentar menghadapi penangkapan, penahanan, penculikan, penyiksaan, dan bahkan kematian –– sebagian dari mereka gugur terbunuh dalam menjalankan tugas. Sepak terjang mereka menimbulkan kekhawatiran besar dan mimpi buruk bagi para diktator dan kaum penindas.
Para pejuang dan pahlawan hak asasi manusia umumnya menjadi minoritas dalam masyarakat, tetapi perjuangan mereka membangkitkan kesadaran hak asasi manusia masyarakat dan memicu semangat perlawanan kolektif terhadap penindasan. Mereka merupakan figur yang jasa-jasanya patut dikenang. Sikap dan perjuangan mereka juga patut menjadi teladan masyarakat dan bangsa.

Nelson Rolihlahla Mandela (1918–2013)

Mandela, tokoh penentang Apartheid  (Sumber: arabic.cnn.com)

Nelson Rolihlahla Mandela lahir di Mvezo, Umtata, Afrika Selatan, pada 18 Juli 1918. Mandela pindah dan menetap di Qunu sampai dengan umur 9 tahun. Masa kecilnya dihabiskan di Thembu. Ayahnya, Henry Mandela, adalah kepala suku Thembu.
Nelson Mandela merupakan orang pertama dari keluarganya yang mengikuti pendidikan sekolah. Pada umur 16 tahun, ia masuk Clarkebury Boarding Institute untuk mempelajari kebudayaan Barat. Pada tahun 1934, ia memulai program bachelor of art  di Fort Hare University. Setelah pindah ke Johannesburg, ia mengambil kuliah jarak jauh di University of South Africa. Sehabis menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1942, ia belajar ilmu hukum di University of Witwatersrand.
Mandela menikah tiga kali. Ia menikah dengan Evelyn Ntoko Mase dan bercerai pada tahun 1957 setelah bertahan selama 13 tahun. Pernikahan keduanya dengan Winnie Mandikizela, setelah bertahan 38 tahun, juga berakhir dengan perceraian (1996). Pada ulang tahunnya yang ke-80 (1998), Mandela menikahi Graca Machel, janda mantan Presiden Mozambik, Samora Machel.
·          Melawan Apartheid
Sejak menjadi mahasiswa, Mandela bersikap kritis terhadap ketidakadilan. Ketika kuliah di Fort Hare University, Mandela melakukan demonstrasi untuk menentang kebijakan universitas yang dianggapnya melenceng (tahun 1940). Akibat aktivitasnya, ia dikeluarkan dari kampus.
Sikap kritis Mandela terus terbangun sampai usianya memasuki 20-an tahun. Di Johannesburg, Mandela bergabung dengan African National Congress (ANC), sebuah organisasi gerakan nasionalis multirasial yang membawa misi mengubah kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan. Pada tahun 1944, Mandela turut mendirikan Liga Pemuda ANC.
Sikap kritis Mandela mulai terbentuk menjadi sikap perlawanan seiring dengan kian memanasnya suhu kehidupan sosial dan politik di Afrika Selatan pada akhir tahun 1940-an. Mandela seperti mendapat sengatan kuat ketika pada tahun 1948 rezim pemerintah kulit putih Afrika Selatan memberlakukan politik apartheid. Melalui apartheid, kaum kulit putih yang hampir sepenuhnya mendomiasi pemerintahan Afrika Selatan, mengklaim dan menempatkan diri sebagai komunitas unggul yang harus mendapat perlakuan istimewa dan menempatkan masyarakat kulit berwarna –– terutama kulit hitam –– sebagai komunitas rendahan yang hak-haknya tidak perlu diperhatikan. Sejak berlakunya apartheid, masyarakat kulit berwarna –– khususnya kulit hitam yang merupakan mayoritas di Afrika Selatan –– hidup tertindas dan dibayang-bayangi kekerasan. Mereka, antara lain, dilarang untuk menggunakan hak pilih, dilarang tinggal di wilayah masyarakat kulit putih, serta tidak memiliki akses untuk menikmati pendidikan tinggi dan memperoleh pekerjaan yang layak.
Kondisi sosial dan politik yang sangat timpang dan menindas tersebut mendorong Mandela meningkatkan militansi gerakannya di ANC. Setelah pada tahun 1952 diangkat menjadi salah satu wakil ketua ANC, Mandela bersama kawan seperjuangan setianya, Oliver Tambo, berusaha mengubah kebijakan ANC menjadi lebih berhaluan keras (radikal). Akibat sikapnya ini, Mandela sempat dituduh sebagai seorang pengkhianat (1956), tetapi kemudian dinyatakan tidak bersalah (1959).
·          Dijatuhi Hukuman Seumur Hidup
Tekad dan keberanian Mandela untuk melakukan perlawanan terhadap apartheid  bertambah kuat setelah pemerintah kulit putih kian menunjukkan kesewenang-wenangan dan kebrutalannya. Pada tahun 1960, aparat rezim kulit putih melakukan pembantaian terhadap massa demonstran di Sharpeville. Akibat pembantaian ini, 69 orang demonstran kulit hitam meninggal dunia.
Untuk merespons perilaku rezim kulit putih yang kian represif, Mandela mulai bersikap konfrontatif. Setahun setelah pembantaian Sharpeville, pada tahun 1961 ia mempelopori pembentukan Umkhonto we Sizwe, sebuah laskar yang berada di bawah ANC. Laskar ini dipersiapkan untuk, antara lain, melakukan perlawanan fisik dan bersenjata terhadap rezim kulit putih.
Mandela kemudian meninggalkan Afrika Selatan untuk mengikuti pelatihan militer di Aljazair. Setelah beberapa bulan mendapat tempaan militer, pada tahun 1962 ia kembali ke Afrika Selatan untuk mewujudkan perjuangan konfrontatifnya melawan rezim kulit putih. Namun, tak lama setelah tiba di tanah airnya, Mandela ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun oleh rezim kulit putih dengan tuduhan meninggalkan Afrika Selatan secara ilegal.
Selama Mandela di penjara, kawan-kawan seperjuangannya di ANC juga ditangkapi dan ditahan. Bersama para koleganya ini, Mandela kembali diajukan ke pengadilan. Melalui pengadilan rezim kulit putih pada tahun 1964, Mandela dinyatakan bersalah dan akhirnya divonis dengan hukuman penjara seumur hidup.
·          Membebaskan Rakyat dari Apartheid
Mandela tetap teguh dan konsisten pada pendiriannya semula: apartheid  harus dilawan dan dihapus. Apartheid  hanya menguntungkan dan menyejahterakan warga kulit putih yang jumlahnya minoritas, tetapi menyebabkan ketidakadilan dan kesengsaraan pada rakyat kulit hitam Afrika Selatan yang jumlahnya mayoritas. Baik secara terang-terangan maupun terselubung, hampir seluruh rakyat kulit hitam Afrika Selatan mendukung perjuangan Mandela.
Dari balik penjara, Mandela terus mengobarkan semangat perlawanan terhadap penindasan sistematis melalui apartheid. Teman-teman seperjuangan serta para pengikut dan simpatisannya di luar penjara melakukan upaya perlawanan melalui berbagai jalur dan cara, sementara publik internasional sambil bertubi-tubi mengecam keras rezim kulit putih, juga turut memberi dukungan pada Mandela. Di sisi lain, rezim kulit putih terus mempelihatkan sikap tak peduli dengan secara sporadis tetap melakukan penggeledahan, penangkapan, penyerangan, dan pemenjaraan terhadap rakyat kulit hitam untuk mempertahankan apartheid.
Keteguhan luar biasa Mandela, perlawanan rakyat kulit hitam yang terus berkobar, dan tekanan internasional yang tidak dapat dihentikan sedikit mengendurkan sikap otoriter dan keras kepala rezim kulit putih setelah masa pemenjaraan Mandela berlangsung hampir 21 tahun. Pada Februari 1985, rezim kulit putih menawarkan pembebasan bagi Mandela dengan syarat ia bersedia menghentikan perlawanan dan perjuangan bersenjata para pengikutnya. Mandela menolak dan tetap memilih tinggal di penjara sambil menyaksikan dan memberi semangat para pengikutnya melakukan perjuangan.
Setelah ketabahan dan konsistensi Mandela kiranya tidak bisa ditaklukkan, sementara perlawanan rakyat kulit hitam serta kecaman masyarakat internasional sudah tak mungkin dapat dibendung, rezim kulit putih akhirnya menyerah. Presiden Afrika Selatan, F.W. de Klerk, yang juga merupakan salah satu tokoh kulit putih yang secara diam-diam tidak lagi menyetujui apartheid,  pada 11 Februari 1990 memerintahkan pembebasan Mandela tanpa syarat. Mandela kemudian bebas di tengah apartheid  mulai memasuki masa kehancurannya.
Sekeluarnya Mandela dari penjara, rakyat kulit hitam Afrika Selatan pun akhirnya juga terbebas dari belenggu apartheid. Bersamaan dengan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), apartheid  dicabut dan lenyap dari bumi Afrika Selatan. Dalam pemilu yang diadakan empat tahun setelah pembebasannya (1994), Mandela sendiri dinyatakan keluar sebagai pemenang dan terpilih menjadi presiden –– merupakan presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Afrika Selatan.
·          Melakukan Rekonsiliasi
Kemenangan Mandela bersama rakyat kulit hitam dalam melawan apartheid  serta kemenangan dirinya dalam pemilu disusul oleh munculnya peristiwa hebat. Mandela dan rakyat kulit hitam Afrika Selatan telah memenangkan pertarungan melawan rezim kulit putih pendatang dari Eropa. Namun, suatu hal yang luar biasa terjadi: Mandela berikut para pengikutnya dan masyarakat kulit hitam tidak melakukan balas dendam terhadap mantan rezim penguasa kulit putih yang lebih dari 40 tahun menindas warga kulit hitam.
Bagi Mandela, merupakan pantangan besar bahwa setelah perjuangannya membela dan menegakkan hak-hak dasar manusia berakhir dengan kemenangan, ia sendiri kemudian justru melakukan pembalasan dendam dengan balik menindas mantan lawannya. Baginya, hal itu merupakan tindakan tak bertanggung jawab terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang konsekuensinya tidak akan mengantarkan Afrika Selatan pada penyelamatan dan pemulihan, melainkan pada kehancuran. Oleh sebab itulah, ia menghindari hal itu serta sebaliknya memimpin dan merangkul semua komponen bangsa Afrika Selatan untuk melakukan rekonsiliasai (rujuk nasional), menggalang persatuan, melupakan masa lalu, dan bersama membangun kembali Afrika Selatan untuk menyongsong masa depan.
Menyaksikan perjuangan dan dedikasinya yang luar biasa dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian, masyarakat dunia menjadi takjub dan tidak ragu-ragu menggolongkan Mandela sebagai tokoh besar yang fenomenal. Mandela telah menghabiskan lebih dari 27 tahun masa hidupnya di dalam penjara demi membebaskan masyarakat kulit hitam Afrika Selatan dari penindasan apartheid. Dengan lapang dada, ia juga membuang sikap dendam serta egoisme pribadi dan kelompok demi terwujudnya perdamaian di negaranya. Tidak mengherankan, untuk jasa-jasanya yang luar biasa itu, ia   –– dan juga F.W. de Klerk –– dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian (1993), sebuah pengakuan dan penghargaan paling tinggi dan prestisius di dunia dalam bidang penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Mikhail Sergeyevich Gorbachev (1931–... )

Gorbachev, membebaskan dunia dari ancaman Perang Dingin
(Sumber: pariani-enimerosi.blogspot.com)
Mikhail Sergeyevich Gorbachev lahir di Privolnoye, Stavropol, Rusia, pada 2 Maret 1931. Ayahnya adalah seorang tentara yang pernah dua kali terluka dalam pertempuran, sedangkan ibunya adalah perempuan sederhana yang kurang berpendidikan. Gorbachev berasal dari keluarga petani dan banyak menghabiskan masa kecilnya di pedesaan.
Pada masa remaja, di tengah kehidupan negara Uni Soviet yang sulit dan keras, Gorbachev menekuni bidang pertanian dengan bekerja di stasiun mesin traktor di Stavropol. Ia dikenal sebagai pekerja keras, berdisiplin, dan menjadi teladan bagi banyak pekerja lain. Untuk prestasi kerjanya yang bagus, ia mendapat anugerah Ordo Merah, sebuah penghargaan dalam bidang ketenagakerjaan.
Gorbachev juga dikenal cerdas serta memiliki prestasi sekolah yang tinggi. Dari seorang yang berlatar belakang dunia pertanian dan pedesaan, ia menjadi seorang yang terdidik dalam bidang hukum dan pertanian. Ia mempelajari ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Moskow serta mendalami ilmu pertanian di Institut Pertanian Stavropol.
·          Pengalaman Selama Kuliah
Selama kuliah di Universitas Moskow, Gorbahev mendapat pengalaman penting. Ia terkesan dengan pemikiran beberapa dosennya –– salah satunya adalah Stepan Fyodorovich Kechekyan, yang mengajar sejarah pemikiran hukum dan politik. Mereka telah membuka mata dan pikiran Gorbachev mengenai dunia intelektual yang lebih luas.
Sebelum kuliah di Universitas Moskow, Gorbachev merasa terkungkung dalam satu pemikiran yang sempit. Namun, setelah belajar di universitas, ia mulai berpikir, berefleksi, dan melihat sesuatu secara berbeda. Indikasi yang mencuat dari hal ini adalah bahwa setelah mengenal pemikiran beberapa dosennya, Gorbachev menjadi terbuka dengan pemikiran dan hal lain di luar Marxisme, Leninisme, dan komunisme yang sebelumnya ia percaya dan ia anut.
Pada saat kuliah di Universitas Moskow pula, Gorbachev merasakan terjadinya perubahan. Kematian pemimpin Uni Soviet, Josep Stalin –– yang diktator dan otoriter –– pada tahun 1953, menyebabkan iklim akademis di kampus menjadi lebih baik dan positif. Diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa menjadi berlangsung lebih bebas dan terbuka.
Belajar di Universitas Moskow memberikan pengalaman berharga bagi Gorbachev. Pemikiran-pemikiran alternatif –– di luar Marxisme, Leninisme, dan komunisme –– memberinya banyak inspirasi dalam menjalani pekerjaan dan karier setelah tamat kuliah. Setelah lulus tahun pada 1955 dengan predikat penuh pujian, ia aktif di Komsomol (Liga Pemuda Komunis) serta bergabung dengan berbagai organisasi politik. Gorbachev menikah pada tahun 1953 dengan Raisa Maximovna Titarenko, perempuan cerdas, anggun, dan bergelar Ph.D. (philosophy of doctor) yang ia kenal semasa kuliah.
·          Tokoh Reformis
Gorbachev memulai karier politiknya pada tahun 1956. Di Uni Soviet yang menganut sistem partai tunggal, yakni Partai Komunis Uni Soviet (Kommunisticheskaya Partiya Sovetskogo Soyuza), Gorbachev tidak memiliki pilihan lain kecuali bergabung dengan partai tersebut. Ia bergabung dengan partai ini pada tahun 1962, kemudian pada tahun 1970 diangkat menjadi sekretaris partai.
Selama bergabung dengan Partai Komunis, ia menjalin hubungan baik dengan beberapa tokoh partai, seperti Mikhail Suslov (sekretaris senior partai) dan Yuri Andropov (kepala badan intelijen KGB –– Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti). Karier Gorbachev mulai menanjak dengan diangkat menjadi sekretaris komite sentral partai di Moskow (1978). Ketika Yuri Andropov menjadi presiden Uni Soviet, Gorbachev menjadi orang nomor dua dalam struktur garis komando partai. Gorbachev baru diangkat menjadi sekretaris jenderal partai pada tahun 1985 setelah pemimpin tertinggi partai sekaligus presiden Uni Soviet, Konstantin Chernenko, meninggal dunia.
Karier politik Gorbachev mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan terpilih menjadi presiden Uni Soviet untuk menggantikan Andei Gromyko. Figur Gorbachev sebagai reformis atau pembaharu sebenarnya sudah mulai tampak sejak ia menduduki posisi penting di dalam tubuh partai. Namun, kiprah pembaharuannya baru benar-benar dapat ia tunjukkan secara mengesankan setelah memegang jabatan presiden.
Gorbachev melakukan reformasi besar-besaran dalam bidang politik dan ekonomi. Pria yang oleh pers Barat sering dipanggil dengan sebutan Gorby ini menggalakkan reformasinya dengan program yang disebut ‘Glasnost’ dan ‘Perestroika’.  Glasnost adalah program yang dijalankan Gorby untuk menerapkan keterbukaan dan kebebasan dalam bidang politik dan budaya, sedangkanperestroika untuk melakukan pembangunan kembali bidang ekonomi.
Untuk merealisasikan Glasnost, Gorbachev melakukan gebrakan yang dianggap sangat tabu dalam perpolitikan tradisional Uni Soviet. Ia memperluas wewenang presiden serta memindahkan kekuasaan partai komunis kepada dewan perwakilan rakyat. Secara umum, ia melakukan banyak pembatasan terhadap kekuasaan dan monopoli Partai Komunis Uni Soviet serta membuka demokratisasi dalam kehidupan politik dan masyarakat Uni Soviet.
Dalam politik luar negeri, ia melakukan terobosan-terobosan besar. Ia memutuskan untuk menarik mundur pasukan Uni Soviet dari pendudukannya di Afghanistan serta memperbaiki hubungan diplomatik dengan Cina (Tiongkok). Secara lebih luar biasa dan sangat mengejutkan hampir semua orang –– tidak saja di Uni Soviet, tetapi juga di seluruh dunia –– ia memutuskan untuk bekerja sama dan menandatangani persetujuan pengendalian senjata dengan seteru berat Uni Soviet, yakni Amerika Serikat.
Adapun untuk menjalankan program Perestroika, Gorbachev memperkenalkan mekanisme pasar bebas dalam perekonomian Uni Soviet. Ia melakukan upaya pemberantasan korupsi dan meningkatkan efisiensi. Untuk mendukung program perbaikan ekonomi, ia juga berusaha memperkuat pemberdayaan sektor pertanian.
·          Mengakhiri Perang Dingin
Kebijakan luar negeri Gorbachev menimbulkan dampak yang tergolong hebat dalam percaturan politik internasional. Serangkaian kebijakan luar negeri yang diambilnya dengan cepat mengakhiri Perang Dingin. Perang Dingin adalah situasi ketegangan tinggi antara Blok Timur (Pakta Warsawa) yang dipimpin Uni Soviet dan Blok Barat (NATO) yang dipimpin Amerika Serikat yang secara mendadak dapat berubah menjadi perang senjata nuklir terbuka antara keduanya.
Gorbachev sangat berbeda dengan para pemimpin Uni Soviet sebelumnya. Dalam politik dan urusan luar negeri, para pendahulunya cenderung antikompromi, militan, konfrontatif, dan ofensif. Sebaliknya, dalam urusan yang sama, Gorbachev bersikap kompromistis, moderat, dan peaceful (mengutamakan sikap damai). Hal ini ia tunjukkan dalam menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Langkah-langkah yang diambil Gorbachev terhadap Amerika Serikat dan sekutunya tidak hanya mengakhiri Perang Dingin yang selama sekitar 40 tahun sangat mengkhawatirkan penduduk bumi, melainkan juga mengubah hubungan Blok Timur dan Blok Barat yang semula sarat rivalitas dan bermusuhan menjadi bersahabat.
Gorbachev juga menunjukkan sikap kenegarawanan yang besar. Tidak seperti para pemimpin Uni Soviet sebelumnya yang konservatif dan otoriter, di dalam negeri ia menunjukkan sikap lebih egaliter, akomodatif, dan memberi banyak kebebasan kepada rakyat Uni Soviet untuk menggunakan hak-haknya. Ia juga memberi ruang yang luas kepada semua pihak di negaranya untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi. 
Adapun di Eropa Timur, selain bersikap peaceful, Gorbachev juga berusaha menjadi mediator dan motivator bagi penghapusan kesewenang-wenangan oleh rezim komunis konservatif. Dalam menghadapi negara-negara Eropa Timur, ia meninggalkan kebiasaan intervensi serta sikap ofensif dan opresif para pemimpin Uni Soviet sebelumnya. Ia memberi keleluasaan kepada pemerintah dan rakyat negara-negara Eropa Timur –– seperti Jerman Timur, Polandia, Cekoslovakia, Bulgaria, Hongaria, dan Romania –– untuk menentukan nasibnya sendiri setelah selama puluhan tahun diintervensi dan dikooptasi oleh rezim pemerintah komunis Uni Soviet.
·          Mendapat Apresiasi Tinggi dari Dunia
Nama Gorbachev serta merta menjadi populer di seluruh dunia. Kebijakan-kebijakannya mengubah citra pemimpin Uni Soviet di dunia internasional. Sebelumnya, para pemimpin Uni Soviet dikenal memiliki citra yang angker, dingin, dan menakutkan, tetapi di tangan Gorbachev citra itu berubah menjadi ramah, hangat, familiar, dan menyejukkan.
Kebijakan-kebijakan Gorbachev tidak hanya menimbulkan dampak positif di Uni Soviet sendiri, melainkan juga di seluruh dunia. Sikapnya yang berdampak global terutama terkait dengan keberaniannya bersikap kooperatif terhadap dunia Barat. Sikap ini dikecam dan ditentang oleh para tokoh komunis konservarif di dalam negeri, tetapi mendapat apresiasi tinggi dari banyak tokoh dan masyarakat dunia. Keputusan Gorbachev untuk berdamai dengan Blok Barat dan mengakhiri Perang Dingin telah menghindarkan masyarakat internasional dari ancaman perang nuklir dahsyat yang sangat destruktif serta dapat membinasakan kehidupan di bumi.
Keterbukaan dan kebebasan politik dan budaya yang dirintis Gorbachev di dalam negeri juga telah membebaskan rakyat Uni Soviet dari kesewenang-wenangan rezim komunis konservatif (garis keras). Sementara itu, kerelaannya untuk melepaskan kendali atas negara-negara Eropa Timur serta membiarkan mereka mengambil kebijakan sendiri telah mengantarkan ratusan juta masyarakat negara-negara Eropa Timur keluar dari krisis kemanusiaan akibat kediktatoran rezim pemerintahan komunisnya masing-masing. Komunisme, baik di Uni Soviet sendiri maupun di negara-negara Eropa Timur, di mata banyak kalangan internasional, merupakan sebuah potret buruk yang terbukti hanya menguntungkan dan memakmurkan para petinggi partai (komunis), tetapi menyebabkan ketertindasan dan kesengsaraan masyarakat luas.
Gorbachev oleh banyak kalangan dianggap sebagai tokoh besar dunia abad ke-20 yang sangat berjasa dalam mengupayakan terwujudnya perdamaian dunia serta membebaskan masyarakat di berbagai kawasan dari ketertindasan. Gorbachev dinobatkan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian untuk tahun 1990. Ia juga mendapat puluhan penghargaan (award) internasional bergengsi lain dari berbagai lembaga dunia, seperti Memorial Medal of Sorbonne (1989), Memorial Medal of Rome Municipality (1999), Franklin D. Roosevelt Liberty Medal  (1990), Gold Medal Prometheus National Technological University of Athens (1993), Gold Medal of Thessaloniki (1993), International Statesman Award (1993), Gold Badge University of Oviedo (1994), Grand Cross of Freedom (1995), Grand Cross Special Class of the Order of Merit (1999), Order of the White Lion with a Ribbon (1999), Induction into the International Academy of Achievement (2000), Indira Gandhi Award (1988), National Liberty Award for Effort Against Oppression (1998), dan Albert Einstein Award for Contribution to Peace and Mutual Understanding Among Peoples (1990).
Gorbachev mengundurkan diri dari jabatan presiden Uni Soviet pada Desember 1991 setelah Uni Soviet mengalami disintegrasi (perpecahan dan pembubaran). Terjadinya pembubaran Uni Soviet tidak semata-mata diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan Gorbachev. Disintegrasi itu lebih disebabkan oleh hasrat yang kuat dari rakyat untuk bebas dari cengkeraman komunisme serta kembali mendirikan negara lamanya masing-masing yang sebelumnya dianeksasi dan digabung menjadi negara Uni Soviet.

Haji Johannes Cornelis Princen (1925–2002)

Haji Johannes Cornelis Princen, desertir Belanda yang menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia
(Sumber: (Arsip Indonesia-jadiberita.com)
Haji Johannes Cornelis Princen lahir di Den Haag, Belanda, pada tanggal 21 November 1925. Pria asli Belanda yang akrab dipanggil Poncke ini wafat pada tanggal 22 Februari 2002 akibat stroke. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur.  H.J.C. Princen meninggalkan seorang istri, Sri Mulyati, dan empat orang anak (Ratna, Iwan, Nico, dan Milanda).
Princen menghabiskan masa kecil dan mudanya di Belanda dalam suasana perang. Setelah menamatkan sekolah dasar, Princen melanjutkan studi ke sekolah menengah seminari (1939–1943) dan pendidikan tentara perwira intelijen (1952). Princen beberapa kali pindah pekerjaan dan profesi. Perjalanan kariernya dimulai dari Biro Penasihat Ekonomi Teppema dan Vargroup Groothandel voor Chemische Producten di Den Haag (1942–1943), kemudian Stoottroepen Regiment Brabant, dan bekerja pada Bureau voor Nationale Veiligheid.
Pada masa pendudukan Jerman di Belanda, Princen ditangkap Nazi, Jerman, dan disekap di camp konsentrasi di tujuh kota di Eropa. Ia sempat dijatuhi hukuman mati, tetapi tidak sampai dieksekusi. Pada akhir tahun 1944, sesaat setelah bebas dari tawanan Nazi, ia ditahan pemerintah Belanda karena menolak wajib militer. Ia kemudian dengan terpaksa masuk dinas militer dan dikirim ke Indonesia. Di Indonesia, Princen tergabung dalam tentara kerajaan Hindia-Belanda, KNIL.
·          Bergabung dengan Pasukan Indonesia
Walaupun seorang tentara, Princen merasa sangat gerah dengan perang. Ia merasakan bahwa perang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Adapun penjajahan baginya merupakan bentuk penindasan. Menjadi serdadu dalam situasi perang dan penjajahan membuat pria bule ini seringkali merasa tak nyaman.
Saat masih tinggal di negeri asalnya, Belanda, ia menyaksikan sekaligus merasakan sendiri kekejaman pasukan Jerman yang menjajah Belanda. Ketika menjadi tentara Belanda di Indonesia, ia juga menyaksikan dan merasakan langsung bagaimana kekejaman pasukan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Hati nuraninya terusik dan memberontak. Melalui pengalaman langsung, akal sehatnya kemudian dapat menyimpulkan bahwa negaranya, Belanda, tak ubahnya dengan Jerman: sama-sama melakukan kekejaman dan penindasan terhadap sesama manusia.
Dalam situasi semacam itu, Princen mengalami pergulatan batin dilematis yang luar biasa. Ia mulai melakukan evaluasi diri. Jika tetap menjadi bagian dari pasukan Belanda dalam penjajahan di Indonesia, ia merasa tidak berbeda dengan para serdadu Nazi Jerman yang melalukan banyak pelanggaran kemanusiaan.
Pada saat ratusan ribu pasukan Belanda tunduk pada komando parlemen Belanda untuk mempertahankan kolonialisme di Indonesia, ia justru mulai berpikir untuk keluar dari barisan pasukan negaranya. Demi mengikuti tuntutan hati nuraninya, ia pun akhirnya memutuskan untuk melakukan desersi dari pasukan Belanda serta bergabung dengan pasukan Indonesia. Dari serdadu penjajah yang melakukan serangkaian kekejaman, ia ingin berganti status menjadi serdadu bangsa terjajah yang berjuang untuk membela diri dari penindasan dan mempertahankan kemerdekaan.
Pada tanggal 26 September 1948, Princen meninggalkan Jakarta serta menyeberang ke kubu pasukan Indonesia (TNI). Ia bergabung dengan pasukan Divisi Siliwangi untuk ikut mempertahankan Yogyakarta dari serangan dan pendudukan pasukan Belanda. Bersama Divisi Siliwangi, ia mengikuti longmarch dari Jawa Tengah ke Jawa Barat serta terus aktif dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda. Dalam sebuah pertempuran, Princen mendapatkan pukulan telak: istrinya –– seorang perempuan Sunda –– dibunuh tentara Belanda. Anak Princen yang masih dalam kandungan juga ikut meninggal bersama ibunya.
Di negeri asalnya, Princen dikecam, dicaci maki, dan berkali-kali diancam akan dibunuh karena melakukan desersi. Ia dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Akan tetapi, ia tak peduli; ia tetap teguh berpihak kepada Indonesia. Untuk menanggapi hal itu, dalam sebuah percakapan dengan harian Kompas (dimuat pada edisi 26 November 2005) ia mengatakan, “Saya mengenal ‘Symphoni ke-9’ ciptaan Beethoven. Bunyi syairnya, antara lain, semua anak manusia harus bersaudara. Mengenai perasaan sesama saudara itu, saya rasakan ketika saya menjadi tahanan di camp konsentrasi Jerman. Saya pernah akan dihukum mati. Dan itulah pengalaman dari sebuah negara yang pernah menjajah, yang kemudian dijajah negara lain.”
·          Serdadu yang Humanis
Pengalaman dan pergulatan Princen dalam kancah penjajahan dan peperangan yang penuh dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan membawanya pada tekad untuk menjadi pejuang kemanusiaan. Ia rela meninggalkan bangsa dan negara asalnya demi membela dan memperjuangkan hak-hak masyarakat korban penjajahan. Ia bahkan menyabung nyawa serta bersedia berperang melawan (pasukan) bangsa dan negara leluhurnya demi membantu rakyat Indonesia mempertahankan hak dan kemerdekaannya.
Apa yang dilakukan Princen selama menjadi tentara sebenarnya sudah cukup jelas menunjukkan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia tidak seperti lazimnya serdadu yang umumnya bertempur untuk tujuan yang seringkali tidak jelas, selain membunuh dan menghancurkan. Bertempur dan berperang baginya adalah pilihan yang tak terhindarkan. Namun, ketika hal itu harus dikerjakan, ia melakukannya untuk membela pihak yang lemah dan diserang walaupun ia harus melawan bangsa dan negaranya sendiri.
Bagi bangsa dan negara asalnya, Princen sangat mungkin tidak dianggap sebagai nasionalis dan patriotik –– dan apalagi sebagai pahlawan –– melainkan sebagai pengkhianat. Namun, bagi rakyat Indonesia, ia menunjukkan keberpihakan dan kesetiaannya yang sangat jelas sehingga dianggap sebagai pejuang. Adapun dalam sudut pandang objektif, tak meragukan lagi, ia dapat dikategorikan sebagai serdadu humanis, yang berjuang untuk membela dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
·          Menjadi Pejuang Hak Asasi Manusia
Seusai perang, Princen menulis dan mengirim surat kepada ibundanya di Belanda. Dalam suratnya ia menyampaikan niatnya untuk keluar dari ketentaraan serta mempelajari sejarah budaya atau sastra. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak ingin selamanya menjadi tentara. “Sementara ini saya masih bergabung dalam tentara (TNI) untuk sedikit menyumbang, tetapi sebisa mungkin saya akan keluar. Masih ada hal penting lain yang perlu dilakukan,” tulis Princen pada salah satu bagian suratnya.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, menjadi jelas kemudian bahwa ‘hal penting lain yang perlu dilakukan’ itu adalah meneruskan perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di medan “pertempuran” yang lain. Sekeluarnya dari ketentaraan, kisah perjuangan Princen  memasuki lembaran baru. Ia tidak lagi bertempur di medan perang untuk membela masyarakat terjajah, melainkan aktif “bertempur” melalui jalur politik dan hukum untuk memperjuangkan hak asasi manusia kaum miskin dan tertindas.
Pada tahun 1956 Princen memasuki dunia politik dengan menjadi anggota parlemen (DPR) untuk mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pada dasawarsa 1950-an yang penuh dengan perdebatan konstitusi, ia menjadi salah satu tokoh politik yang penting dan populer. Ia berusaha memperjuangkan terwujudnya komunikasi politik yang peduli dengan hak-hak rakyat.
Akibat merasakan iklim politik yang tidak sehat karena diwarnai oleh banyaknya penyelewengan, ia kemudian keluar dari parlemen serta memilih berjuang dari luar tembok politik. Ia vokal mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang memasuki akhir tahun 1950-an mulai bertindak otoriter –– terutama karena keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Akibat sikapnya, Princen ditangkap dan dipenjara (1957–1958). Sekeluarnya dari penjara ia mencoba lagi memperjuangkan hak-hak rakyat melalui organisasi yang ia dirikan, Liga Demokrasi. Akibat sikap vokalnya yang kembali mengkritik pemerintahan Soekarno yang makin sewenang-wenang terhadap masyarakat, ia lagi-lagi ditangkap dan dipenjara (1962–1966).
Untuk membela kaum miskin dan tertindas, sejak pertengahan tahun 1960-an Princen mulai merambah dunia hukum. Pada tahun 1966 ia mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Ia turut mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1970). Ia juga turut aktif mendirikan koalisi hak asasi manusia Indonesia Front for Defending Human Right (1989), Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1990), dan juga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (1998).
Sebagai pengacara, Princen menjadi pembela hukum bagi masyarakat Tanjungpriok, Jakarta, korban pembantaian militer Orde Baru tahun 1984 serta pendamping puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Menteri Dalam Negeri, Rudini (1989). Princen melakukan pembelaan hukum dengan prinsip nondiskriminasi, yakni tidak membeda-bedakan asal-usul, agama, ras, dan sejenisnya. Ia membuktikannya, antara lain, dengan menjadi pelindung hukum masyarakat dan mahasiswa Timor Timur korban penyerangan militer Orde Baru serta menjadi pembela mantan lawan politiknya, yakni para mantan anggota PKI dan orang-orang yang dituduh simpatisan PKI yang pernah mengalami pembantaian massal.
Dari seorang serdadu yang humanis, Princen benar-benar dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia. Konsistensi perjuangannya dalam menegakkan hak asasi manusia ia pertahankan sampai akhir hayatnya. Ia seperti tak pernah lelah serta tak mengenal waktu dan keadaaan dalam berikhtiar membela kaum tertindas. Sejak tahun 1996, karena usia tua dan stroke, ia sudah tidak dapat berjalan normal dan harus menggunakan kursi roda, tetapi ia masih mendampingi para simpatisan PDIP korban penyerangan rezim Orde Baru (dalam kasus 27 Juli 1996). Pada pertengahan tahun 2001 –– berarti beberapa bulan sebelum wafat (22 Februari 2002) –– ia juga masih menyempatkan diri mengabdi bagi kemanusiaan dengan mendampingi sebagian masyarakat Jakarta korban penggusuran aparat Pemerintah Provinsi DKI.
Princen dapat dikatakan merupakan pejuang hak asasi manusia tulen yang jalan hidupnya penuh pergolakan batin, kaya warna, heroik, dan sarat dengan pengalaman menjadi korban “penipuan” dan penindasan rezim penguasa. Ia pasti merasakan pergulatan batin yang luar biasa ketika harus membelot menjadi pejuang Indonesia serta kemudian berperang melawan pasukan bangsa dan negara leluhurnya. Ia mengecap pengalaman  yang penuh nuansa saat setelah menjadi serdadu kemudian berjuang membela hak asasi manusia melalui dunia politik dan hukum. Ia barangkali juga merasa “tertipu” setelah menjadi warga negara Indonesia yang pernah dibelanya dan diharapkannya dapat menjadi negeri yang bebas dari penindasan, ternyata ia sendiri kemudian justru seringkali menjadi korban kesewenang-wenangan rezim pemerintah negara barunya –– baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, ia berkali-kali mengalami penangkapan dan pemenjaraan secara tidak adil.
Akan tetapi, untuk jasa-jasanya yang luar biasa dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, Princen juga mendapatkan apresiasi yang tinggi –– suatu hal yang sudah semestinya ia terima. Para tokoh, sahabat-sahabatnya, dan banyak kalangan masyarakat menyebutnya sebagai pejuang sejati hak asasi manusia. Konsistensi dan dedikasi Princen dalam memperjuangkan hak asasi manusia juga mengantarkannya menjadi penerima anugerah Yap Thiam Hien Award untuk tahun 1992.

Yap Thiam Hien (1913–1989)

Yap Thiam Hien, salah satu pendekar HAM Indonesia (Sumber: indochinatown)

Yap Thiam Hien lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada tanggal 25 Mei 1913. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Kakek buyut Yap Thiam Hien berasal dari Provinsi Guangdong, Cina, yang bermigrasi ke Bangka dan kemudian pindah ke Aceh.
Yap Thiam Hien mengawali pendidikannya di Europesche Lagere School, Banda Aceh, kemudian meneruskan ke MULO, Banda Aceh. Bersama adiknya, Thiam Bong, Thiam Hien diboyong orang tuanya ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1920-an. Pendidikannya yang belum tamat di MULO Banda Aceh kemudian dilanjutkan di MULO Batavia. Setamat MULO, ia meneruskan ke AMS Bandung dan Yogyakarta, mengambil jurusan A-II program bahasa dan sastra Barat (tamat tahun 1933). Pada awal tahun 1946, ia merantau ke Belanda dengan menjadi pekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda. Kesempatan ini kemudian ia manfaatkan untuk meneruskan studi ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda –– lulus dengan gelar Meester de Rechten (Mr.).
Thiam Hien mencari nafkah dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia berturut-turut menjadi guru di Chineesche Kweekschool, Jakarta; Chinese Zendingschool, Cirebon; Tionghwa Hwee Kwan Holl,China School, Rembang; dan Christelijke School, Batavia. Ia juga pernah bekerja sebagai pencari pelanggan telepon, bekerja pada kantor asuransi di Jakarta (1938), dan menjadi pegawai Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman (1943). Setelah pada tahun 1950 menjadi pengacara, lima tahun kemudian (1955), Thiam Hien menjadi anggota DPR dan Konstituante.
·          Dari Feodal Menjadi Anti Penindasan
Sejak kecil, Thiam Hien sudah menjadi anak yatim. Ibunya, Hwang Tjing Nio, meninggal dunia saat Thiam Hien berusia sembilan tahun. Thiam Hien bersama dua adiknya kemudian diasuh oleh Sato Nakashima, perempuan Jepang yang menjadi gundik kakek Thiam Hien. Kendatipun Thiam Hien bersaudara bukan anak kandungnya, Sato memberikan sentuhan kemesraan dan kasih sayang yang diperlukan ketiga anak itu –– suatu hal yang seringkali terabaikan dalam keluarga Tionghoa ketika itu.
Sebelum diasuh Sato, Thiam Hien bersaudara hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat feodalistik. Namun, lingkungan feodalistik masa kolonial yang lazim represif dan sarat kesewenang-wenangan tidak membuat Thiam Hien larut menjadi pribadi feodal yang suka menindas. Di tengah situasi dan kondisi kehidupan yang feodalistik, Thiam Hien kecil yang masih dalam masa pertumbuhan justru menjadi seorang pemberontak dan pembenci penindasan dan kesewenangan-wenangan.
Sentuhan kasih sayang Sato Nakashima yang berperan sebagai ibu di sisi lain kiranya turut membentuk Thiam Hien menjadi pribadi yang sensitif dalam soal kasih sayang dan penindasan. Dalam dua hal ini, Thiam Hien rupanya tumbuh menjadi pribadi yang dikotomis: di sisi satu menjadi pendamba kasih sayang dan di sisi lain menjadi pembenci penindasan. Itulah sebabnya, setelah dewasa ia menjelma menjadi figur yang terobsesi oleh keinginan untuk membela orang-orang yang hidupnya tertindas dan teraniaya.
·          Mengabdi untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia
Berbagai pekerjaan atau profesi telah dijalani Thiam Hien semasa hidupnya. Sosoknya sebagai seorang pejuang keadilan dan hak asasi manusia mulai menonjol setelah peraih gelar doktor honoris causa bidang hukum ini menjadi pengacara. Selama menjadi pengacara, Thiam Hien dikenal gigih melakukan pembelaan terhadap orang-orang yang dalam pandangannya menjadi korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Thiam Hien mengawali profesi pengacaranya pada sekitar tahun 1948–1949. Sebagai pengacara pemula, awalnya ia berkiprah dengan menjadi pengacara orang-orang keturunan Tionghoa di Jakarta. Namun, sejalan dengan makin banyaknya terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, ia mengembangkan perjuangannya dengan cakupan yang jauh lebih luas dan kompleks dari sekadar membela orang-orang keturunan Tionghoa.
Pada tahun 1950, ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar untuk meneruskan perjuangannya membela para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Untuk makin memperkuat upaya penegakan keadilan dan hak asasi manusia, bersama beberapa tokoh penting lain –– seperti H.J.C. Princen dan Adnan Buyung Nasution –– ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) serta turut mempelopori pendirian Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Sebagai advokat pejuang, pada tahun 1970 ia mendirikan kantor pengacara sendiri. Ia juga memperluas perjuangannya dengan menjadi anggota DPR dan Konstituante setelah pemilu 1955.
Hampir seluruh atau sebagian besar waktu hidup Thiam Hien selama menjadi advokat (pengacara), dihabiskannya untuk berjuang di jalur penegakan dan pembelaan hak asasi manusia. Ia tidak saja dikenal sebagai pemberani yang gigih, melainkan juga tanpa kompromi dalam membela kaum miskin dan minoritas yang terpinggirkan. Sungguhpun pada awalnya lebih condong pada pembelaan kalangan tertentu –– khususnya warga keturunan Tionghoa –– ia kemudian juga konsi
Thiam Hien adalah seorang keturunan Tionghoa dan pemeluk Kristen, tetapi sebagai pengacara ia melakukan pembelaan terhadap para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari luar etnik dan agamanya. Ia tidak memilih dan membeda-bedakan kliennya. Dengan motonya yang terkenal “Biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan” (Fiat justitia, ruat caelum), ia melakukan pembelaan terhadap semua korban penindasan yang membutuhkan uluran tangannya.
Para pedagang Pasar Senen, Jakarta, yang berasal dari berbagai suku dan agama serta menjadi korban penggusuran, pernah ia bela dengan gigih di pengadilan. Pada masa Orde Lama, ia menulis artikel persuasif yang isinya meminta pembebasan beberapa tokoh tahanan politik korban kediktatoran Presiden Soekarno, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, H.J.C. Princen, dan Soebadio. Sebagai pemeluk Kristen taat yang antikomunis, Thiam Hien membela para tersangka pelaku G-30-S, seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Pada peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974, ia gigih membela para mahasiswa hingga ia sendiri kemudian ditangkap dan ditahan. Masyarakat muslim Tanjungpriok, Jakarta, yang menjadi korban penembakan massal militer rezim Orde Baru tahun 1984 juga pernah ia bela.
Adapun melalui jalur politik, Thiam Hien juga berjuang keras mewujudkan persamaan hak warga negara tanpa memandang asal-usul. Sebagai politisi, namanya mencuat dalam perdebatan konstitusi tahun 1959. Dalam kapasitas sebagai anggota Konstituante, dengan vokal ia mempersoalkan Pasal 6 UUD 1945 yang dalam pandangannya bersifat diskriminatif. Ia juga mempermasalahkan kedudukan presiden yang dianggapnya terlalu kuat.
·          Diabadikan untuk Nama Penghargaan Hak Asasi Manusia
Yap Thiam Hien beristrikan Tan Gian Khing Nio. Pernikahan mereka membuahkan dua orang anak. Istrinya yang bekerja sebagai guru mendukung penuh usaha dan perjuangan Thiam Hien menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
Thiam Hien mampu memanfaatkan dengan baik dukungan istrinya itu. Setelah Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, namanya melekat dalam ingatan banyak orang sebagai seorang pengabdi hukum sekaligus pejuang keadilan dan hak asasi manusia. Bagi kalangan hukum khususnya dan masyarakat umumnya, ia dianggap sebagai tokoh yang perilaku dan perjuangannya menjadi sumber teladan dan inspirasi.
Thiam Hien dianggap berjasa dalam upaya menghapuskan diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan. Bersama beberapa tokoh lain, pengabdian dan perjuangannya dinilai banyak kalangan sebagai tonggak dan rintisan penting bagi upaya penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa perjuangannya yang konsisten itu, nama Yap Thiam Hien diabadikan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Indonesia menjadi nama penghargaan untuk perjuangan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia (Yap Thiam Hien Award).

Raden Adjeng Kartini (1879–1904)

Kartini, tokoh emansipasi wanita Indonesia (Sumber: Informasitips)

(Sumber: Sadah Siti Hajar, Embun, http://caraelok.blogspot.co.id/2017/01/seri-pejuang-dan-pahlawan-hak-asasi.html, 11 Januari 2017)
Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Wanita yang lebih dikenal dengan nama R.A. Kartini ini adalah putri pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (bupati Jepara) dan M.A. Ngasirah. Kartini wafat pada tanggal 17 September 1904 dalam usia muda, 25 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang (Jawa Tengah), kota yang letaknya tidak jauh dari Jepara.
Sebagai anak seorang bupati sekaligus berasal dari keluarga bangsawan (Jawa), Kartini dapat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi untuk ukuran seorang perempuan pada zamannya. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Dari pendidikannya, ia mampu menguasai bahasa Belanda. Berkat kemampuannya berbahasa Belanda yang baik ini, ia mampu melakukan surat-menyurat dengan sahabat-sahabat pena Belandanya. Dalam surat-suratnya ia berbicara mengenai banyak hal, terutama kedudukan dan kehidupan kaum perempuan.
·          Bermula dari Bacaan
Dengan penguasaan bahasa Belanda yang baik pula, Kartini dapat memperluas pengetahuan dengan membaca berbagai buku, majalah, dan surat kabar berbahasa Belanda. Kartini rajin membaca dan mengikuti pemikiran-pemikiran progresif para penulis wanita Eropa. Kartini juga menulis dan mengirimkan tulisannya ke majalah berbahasa Belanda –– salah satu tulisannya dimuat di majalah De Hollandsche Lelie.
Perhatian Kartini tidak hanya tertuju pada soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Sebelum berusia 20 tahun, Kartini sudah membaca buku-buku bermutu tinggi dari para penulis Belanda. Ia, antara lain, membaca Max Havelaar  dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli (Douwes Dekker), De Stille Kraacht  (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de Jong Van Beek, dan roman antiperang Die Waffen Nieder  (Letakkan Senjata) karya Berta Von Suttner.
Dari kegemarannya membaca, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Ia merasakan perbedaan yang jauh antara kondisi perempuan Eropa dan perempuan pribumi. Perempuan Eropa sudah demikian maju kedudukan dan pemikirannya, sementara perempuan pribumi terbelenggu dalam ketertinggalan serta berada pada status sosial yang rendah.
·          Mengeluarkan Perempuan dari Kungkungan Adat
Pengalaman mengikuti berbagai pemikiran maju dari bahan bacaan menyebabkan Kartini tergiring pada pergulatan pemikiran tentang nasib perempuan pribumi. Pengetahuannya mengenai kondisi perempuan Eropa memicu semangat dan pemikirannya untuk membebaskan kaum perempuan pribumi dari berbagai belenggu keterbelakangan. Sambil tetap membaca, ia rajin menulis surat berisikan perenungan dan pemikirannya untuk memajukan kaum perempuan pribumi.
Surat-surat yang ia tulis memuat ide-idenya mengenai perbaikan dan persamaan hak kaum wanita pribumi. Kartini menginginkan perempuan pribumi (Jawa) dapat dengan bebas belajar dan menuntut ilmu melalui bangku sekolah. Kartini juga sangat berhasrat perempuan pribumi dapat keluar atau bebas dari kungkungan adat. Adat yang saat itu membelenggu perempuan pribumi, antara lain, perempuan diharuskan hidup dalam pingitan, bersedia dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan bersedia dimadu oleh suami.
Dalam pandangan Kartini, adat menjadi penghambat serius terwujudnya kebebasan dan kemajuan perempuan pribumi. Belenggu adat menyebabkan perempuan pribumi hidup dalam kebodohan, keterbelakangan, dan dominasi kaum laki-laki. Secara langsung atau tidak langsung, perempuan pribumi tampak hidup dalam ketertindasan dan ketidakadilan. Keadaan ini memicu keprihatinan Kartini sekaligus menggerakkannya untuk mencetuskan gagasan pembebasan dan pemajuan kaum perempuan.
Selain melalui surat dan tulisan, Kartini juga berupaya membebasakan kaum perempuan pribumi dari kungkungan adat melalui dunia pendidikan. Pendidikan diharapkan dapat membangkitkan kesadaran perempuan pribumi akan hak-haknya serta menjadikannya memiliki pengetahuan untuk maju. Dengan persetujuan dan dukungan sang suami, Kartini mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pribumi. Untuk merintis usahanya, ia mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Sepeninggal Kartini, sekolah ini berkembang pesat dengan ditandai pendirian sekolah-sekolah perempuan baru oleh Yayasan Kartini dengan nama “Sekolah Kartini” (Kartinischool) di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa kota lain.
Namun, belenggu adat kiranya cukup sulit untuk dilawan. Di tengah perjuangannya melepaskan kaum perempuan dari belenggu adat, Kartini sendiri juga turut menjadi korban kekolotan adat. Biarpun anak seorang bangsawan yang memiliki status sosial tinggi, Kartini hanya bersekolah sampai usia 12 tahun, dan setelah itu menjalani hidup dalam pingitan. Ia bercita-cita dapat menjadi wanita maju dengan melanjutkan studi ke Eropa (Belanda), tetapi niat itu pupus akibat adat. Ia juga pernah hendak menempuh pendidikan guru di Batavia (tahun 1903), tetapi karena kendala adat juga hasrat itu kandas di tengah jalan. Mengenai yang terakhir ini, melalui sepucuk surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis,  “.... Singkat dan pendek saja bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi (belajar di sekolah guru Batavia) karena saya sudah akan kawin ....”
·          Inspirasi bagi Gerakan Emansipasi
Kartini bukanlah seorang pejuang yang turut langsung turun di medan tempur dengan memanggul senjata melawan kaum penjajah. Namun, ia tetap dinilai sebagai pejuang hak asasi, khususnya hak asasi kaum wanita. Apa yang dilakukannya tergolong luar biasa diukur dari keadaan zamannya. Di tengah cengkeraman kolonialisme Belanda, dominasi kaum laki-laki, dan kungkungan adat yang sangat ketat terhadap kaum wanita, Kartini mencetuskan gagasan yang progresif, yakni keharusan kaum perempuan pribumi keluar dari kungkungan adat dan lepas dari diskriminasi.
Apa yang ia lakukan tergolong tabu pada zamannya, tetapi sangat positif untuk masa depan kaum perempuan. Ia berani menentang adat –– suatu hal yang saat itu tergolong rawan dan berbahaya –– demi kebebasan dan kemajuan kaum perempuan. Ide-idenya berusaha membebaskan kaum perempuan pribumi dari adat yang membelanggu selama berabad-abad. Dapat dikatakan, Kartini merupakan wanita pertama Indonesia yang mencetuskan gagasan tersebut pada saat wanita-wanita lain pasrah dalam situasi dan kondisi kehidupan yang represif dan diskriminatif.
Kartini telah lama wafat meninggalkan kita. Namun, Kartini hanya meninggal secara fisik, sedangkan spirit perjuangan dan gagasan-gagasannya terus hidup dan memberi inspirasi bagi upaya pembebasan dan  pemajuan kaum perempuan Indonesia. Kematiannya meninggalkan warisan yang sangat berharga: ide emansipasi, yang pada waktu-waktu selanjutnya menjadikan wanita Indonesia jauh lebih bebas dan lebih maju (dibandingkan dengan kehidupan wanita pada masa Kartini hidup dahulu).